Pages

http://ariefmuliadi30.blogspot.com/. Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 19 Juni 2012

MAKALAH TAFSIR AYAT-AYAT EKONOMI (Sikap dan Perilaku Konsumen)


BAB I
PENDAHULUAN
Keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup merupakan naluri manusia. Sejak kecil, bahkan ketika baru lahir, manusia sudah menyatakan keinginan untuk memenuhi kebutuhannya dengan berbagai cara, misalnya dengan menangis untuk menunjukkan bahwa seorang bayi lapar dan ingin minum susu dari ibunya. Semakin besar dan akhirnya dewasa, keinginan dan kebutuhan seorang manusia akan terus meningkat dan mencapai puncaknya pada usia tertentu untuk seterusnya menurun hingga seseorang meninggal dunia.
Teori Perilaku konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana manusia memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumberdaya (resources) yang dimilikinya.
Teori perilaku konsumen yang dibangun berdasarkan syariah Islam, memiliki perbedaan yang mendasar dengan teori konvensional. Perbedaan ini menyagkut nilai dasar yang menjadi fondasi teori, motif dan tujuan konsumsi, hingga teknik pilihan dan alokasi anggaran untuk berkonsumsi.
Ada tiga nilai dasar yang menjadi fondasi bagi perilaku konsumsi masyarakat muslim :
1.            Keyakinan akan adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan seorang konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia. Mengutamakan konsumsi untuk ibadah daripada konsumsi duniawi. Konsumsi untuk ibadah merupakan future consumption (karena terdapat balasan surga di akherat), sedangkan konsumsi duniawi adalah present consumption.
2.            Konsep sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama Islam, dan bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai.  Kebajikan, kebenaran dan ketaqwaan kepada Allah merupakan kunci moralitas Islam.  Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan prilaku yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan diri dari kejahatan.
3.            Kedudukan harta merupakan anugrah Allah dan bukan sesuatu yang dengan sendirinya bersifat buruk (sehingga harus dijauhi secara berlebihan).  Harta merupakan alat untuk mencapai tujuan hidup, jika diusahakan dan dimanfaatkan dengan benar.(QS.2.265)
BAB II
ISI
A.                TAFSIR DEPAG MENGENAI AYAT-AYAT SIKAP DAN PERILAKU      KONSUMEN
1.      Al-Baqarah : 168
·         Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Baqarah : 168
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya : “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun mengenai suatu kaum yang terdiri dari Bani Saqif, Bani Amir bin Sa'sa'ah, Khuza'ah dan Bani Mudli. Mereka mengharamkan menurut kemauan mereka sendiri, memakan beberapa jenis binatang seperti bahirah yaitu unta betina yang telah beranak lima kali dan anak kelima itu jantan, lalu dibelah telinganya; dan wasilah yaitu domba yang beranak dua ekor, satu jantan dan satu betina lalu anak yang jantan tidak boleh dimakan dan harus diserahkan kepada berhala. Padahal Allah tidak mengharamkan memakan jenis binatang itu, bahkan telah menjelaskan apa-apa yang diharamkan memakannya dalam firman-Nya:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ

Artinya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas kecuali yang sempat kamu sembelih dan (diharamkan juga bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah; itu adalah suatu kefasikan. (Q.S Al Ma'idah: 3)
Karena itu selain dari yang tersebut dalam ayat ini boleh dimakan, sedangkan bahirah dan wasilah itu tidak tersebut di dalam ayat itu. Memang ada beberapa ulama berpendapat bahwa di samping yang tersebut dalam ayat itu, adalagi yang diharamkan memakannya berdasarkan hadis Rasulullah saw. seperti memakan binatang yang bertaring tajam atau bercakar kuat, tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa memakan binatang-binatang tersebut hanya makruh saja hukumnya.
Allah menyuruh manusia memakan yang baik sedang makanan yang diharamkan oleh beberapa kabilah yang ditetapkan menurut kemauan dan peraturan yang mereka buat sendiri halal dimakan, karena Allah tidak mengharamkan makanan itu. Allah hanya mengharamkan beberapa macam makanan tertentu sebagaimana tersebut dalam ayat 3 surat Al-Maidah dan dalam ayat 173 surat al-baqarah.
Adapun selain dari yang diharamkan Allah itu dan selain yang tersebut dalam hadis sesuai dengan pendapat sebagian ulama adalah halal, boleh dimakan. Kabilah-kabilah itu hanya mengharamkan beberapa jenis tanaman dan binatang berdasarkan hukum yang mereka tetapkan dengan mengikuti tradisi yang mereka pusakai dari nenek moyang mereka dan karena memperturutkan hawa nafsu dan kemauan setan belaka. Janganlah kaum muslimin mengikuti langkah-langkah setan itu, karena setan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.
·         Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah Al Baqarah 168
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Ayat berikut ini turun tentang orang-orang yang mengharamkan sebagian jenis unta/sawaib yang dihalalkan, (Hai sekalian manusia, makanlah yang halal dari apa-apa yang terdapat di muka bumi) halal menjadi 'hal' (lagi baik) sifat yang memperkuat, yang berarti enak atau lezat, (dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah) atau jalan-jalan (setan) dan rayuannya (sesungguhnya ia menjadi musuh yang nyata bagimu) artinya jelas dan terang permusuhannya itu.

2.      Al-Maidah : 87
·         Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Maa-idah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Pada ayat ayat ini Allah swt. menunjukkan firman-Nya kepada kaum muslimin, yaitu melarang mereka mengharamkan bagi diri mereka segala yang baik yang telah dihalalkan-Nya seperti makanan, minuman, pakaian, pernikahan dan lain-lainnya yang baik dan halal.
Ayat ini diturunkan berkenaan dengan beberapa orang sahabat yang keliru dalam memahami dan melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam. Mereka mengira, bahwa untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. harus melepaskan diri dari segala macam kenikmatan duniawi, karena mereka berpendapat, bahwa kenikmatan itu hanya akan melalaikan mereka beribadat kepada Allah. Padahal Allah swt. telah menciptakan dan menyediakan di muka bumi ini barang-barang yang baik, yang dihalalkan-Nya untuk mereka. Dan di samping itu, Dia telah menjelaskan pula apa-apa yang diharamkan-Nya.
Akan tetapi, walaupun Allah swt. telah menyediakan dan menghalalkan barang-barang yang baik bagi hamba-Nya, namun haruslah dilakukan menurut cara yang telah ditentukan-Nya. Maka firman Allah dalam ayat ini melarang hamba-Nya dari sikap dan perbuatan yang melampaui batas. Perbuatan yang melampaui batas dalam soal makanan, misalnya, dapat diartikan dengan dua macam pengertian. Pertama seseorang tetap memakan makanan yang baik, yang halal, akan tetapi ia berlebih-lebihan memakan makanan itu, atau terlalu banyak. Padahal makan yang terlalu kenyang adalah merusak kesehatan, alat-alat pencernaan dan mungkin merusak pikiran. Dana dan dayanya tertuju kepada makanan dan minuman, sehingga kewajiban-kewajiban lainnya terbengkalai, terutama ibadahnya. Pengertian yang kedua ialah bahwa seseorang telah melampaui batas dalam hal macam makanan yang dimakannya, dan minuman yang diminumnya, tidak lagi terbatas pada makanan yang baik dan halal, bahkan telah melampauinya kepada yang merusak dan berbahaya, yang telah diharamkan oleh agama. Kedua hal itu tidak dibenarkan oleh ajaran agama Islam.
Pada akhir ayat tersebut Allah swt. memperingatkan kepada hamba-Nya, bahwa Dia tidak suka kepada orang-orang yang melampaui batas. Ini berarti bahwa setiap pekerjaan yang kita lakukan haruslah selalu dalam batas-batas tertentu, baik yang ditetapkan oleh agama, seperti batas halal dan haramnya, maupun batas-batas yang dapat diketahui oleh akal, pikiran dan perasaan, misalnya batas mengenal banyak sedikitnya serta manfaat dan mudaratnya.
Suatu hal yang perlu kita ingat ialah prinsip yang terdapat dalam Syariat Islam, bahwa apa-apa yang dihalalkan oleh agama adalah karena ia bermanfaat dan tidak berbahaya; sebaliknya apa-apa yang diharamkannya adalah karena ia berbahaya dan tidak bermanfaat atau karena bahayanya lebih besar daripada manfaatnya.
Oleh sebab itu tidaklah boleh mengubah-ubah sendiri hukum-hukum agama yang telah ditetapkan Allah swt. dan Rasul-Nya. Allah swt. Maha Mengetahui apa-apa yang baik dan bermanfaat bagi hamba-Nya dan apa yang berbahaya bagi mereka. Dan Dia Maha Pengasih terhadap mereka.



3.      Al-Israa : 29
·         Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Al Israa' 29
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
Artinya : “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”
Kemudian Allah SWT menjelaskan cara-cara yang baik dalam membelanjakan harta, yaitu Allah SWT melarang orang menjadikan tangannya terbelenggu pada leher. Ungkapan ini adalah lazim dipergunakan oleh orang-orang Arab, yang berarti larangan berlaku bakhil. Allah melarang orang-orang yang bakhil, sehingga enggan memberikan harta kepada orang lain, walaupun sedikit. Sebaliknya Allah juga melarang orang yang terlalu mengulurkan tangan, ungkapan serupa ini berarti melarang orang yang berlaku boros membelanjakan harta, sehingga belanja yang dihamburkannya melebihi kemampuan yang dimilikinya. Akibat orang yang semacam itu akan menjadi tercela, dan dicemoohkan oleh handai-tolan serta kerabatnya dan menjadi orang yang menyesal karena kebiasaannya itu akan mengakibatkan dia tidak mempunyai apa-apa.
Dari ayat ini dapat dipahami bahwa cara yang baik dalam membelanjakan harta ialah membelanjakannya dengan cara yang layak dan wajar, tidak terlalu bakhil dan tidak terlalu boros.
Adapun keterangan-keterangan yang didapat dari hadis-hadis Nabi dapat dikemukakan sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Imam Ahmad dan ahli hadis yang lain, dari Ibnu Abbas ia berkata: "Rasulullah saw bersabda:
ما عال من اقتصد
Artinya:
"Tidak akan menjadi miskin orang yang berhemat".
Imam Baihaqi meriwayatkan sebuah hadis dari Ibnu Abbas, Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah saw bersabda:
الإقتصاد في النفقة نصف المعيشة
Artinya:
Berlaku hemat dalam membelanjakan harta, separoh dari penghidupan.




·         Tafsir / Indonesia / Jalalain / Surah Al Israa' 29
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
artiya : “(Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu) artinya janganlah kamu menahannya dari berinfak secara keras-keras; artinya pelit sekali (dan janganlah kamu mengulurkannya) dalam membelanjakan hartamu (secara keterlaluan, karena itu kamu menjadi tercela) pengertian tercela ini dialamatkan kepada orang yang pelit (dan menyesal) hartamu habis ludes dan kamu tidak memiliki apa-apa lagi karenanya; pengertian ini ditujukan kepada orang yang terlalu berlebihan di dalam membelanjakan hartanya.

B. TAFSIR AL-MISBAH MENGENAI AYAT-AYAT SIKAP DAN PERILAKU KONSUMEN
1.      Al-Baqarah : 168
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya : “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.
Tidak semua yang ada didunia ini otomatis halal untuk dimakan atau digunakan. Allah menciptakan ular berbisa bukan untuk dimakan, tetapi antara lain untuk digunakan biasanya sebagai obat, ada burung burung yang diciptakan Nya untuk memakan serangga yang merusak tanaman ,dengan demikian tidak semua yang diciptakannya untuk dimakan manusia, walau semua yg diciptakannya untuk kepentingan mausia, karena itu allah memerintahkan untuk memakan yang halal saja.
Makanan halal adalah makanan yang tidak haram, pada ayat ini menjelaskan bahwa perintah kepada seluruh manusia untuk tidak memakan makanan yang haram. Namun demikian tidak semua makanan yang halal otomatis baik. Karena yang dinamakan halal ada 4 macam wajib, sunah, mubah, dan makruh.
Ada halal yang baik menurut si A yangis sesuai dengan kondisi tertentunya. Ada yang kurang baik untuknya dan baik buat orang lain,. Ada makanan yang halal tetapi tidak bergizi. Yang diperintahkan adalah yang halal lagi baik.


2.      Al-Maidah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
Ulama tidak melihat adanya hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya. Tetapi al-Biqa’I yang menekuni bahasan hubungan antar ayat menulis bahwa setelah dalam ayat yang lalu Allah memuji rahbah atau rasa takut kepada Allah  yang mendorong upaya menjauhkan diri dari gemerlapan duniawi, karena memang hal ini baik, tetapi lanjut Al-Biqa’I dalam prakteknya sering kali pelakunya terlalu ketat sampai-sampai meninggalkan yang mubah (dibolehkan) padahal manusia adalah makhluk lemah, sehingga sering kali kelemahan menghadapi keketatan itu mengantar kepada kegagalan bersama. Itu sebabnya Islam datang , melarang pengetatan beragama seperti itu, dengan menganjurkan moderasi – tidak melebihkan tidak juga mengurangi. Dalam konteks itulah setelah menyinggung para ruhban yang meninggalkan gemerlapan duniawi, bahkan mengharamkan atas diri meraka sekian banyak hal yang mubah atau halal, ayat ini datang berpesan kepada orang-orang beriman : hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan, menghalangi diri kamu dengan jalan bernadzar, atau sumpah, atau apa saja untuk melakukan apa-apa yang baik, indah, lezat, atau nyaman yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu memaksakan diri melampaui batas kewajaran, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai yakni tidak melimpahkan rahmat dan ganjaran-Nya kepada orang-orang yang melampaui batas, walaupun pelampauan batas itu berkaitan dengan upaya mendekatkan diri kepada-Nya, sebagaimana halnya orang-orang Nasrani yang melakukan rahbaniyah dengan mengharamkan apa yang halal.
Ath-Thabari dan al-Wahidi meriwayatkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan kedatangan seseorang kepada Nabi SAW. Sambil berkata : “kalau saya makan daging, lalu saya terus akan ‘mendatangi’ wanita-wanita, maka saya mengharamkan atas diri saya daging”. Ayat ini turun meluruskan pandangannya itu. Riwayat ini ditemukan juga dalam sunan at-Tirmidzi. Riwayat lain yang sejalan dengan makna riwayat diatas menyatakan bahwa sejumlah sahabat Nabi SAW berkumpul untuk membandingkan amal-amal mereka dengan amal-amal Nabi SAW., dan akhirnya mereka berkesimpulan untuk melakukan amalan-amalan yang berat. Ada yang ingin shalat semalam suntuk, ada yang tidak akan menggauli wanita, dan ada juga yang akan berpuasa terus menerus. Mendengar rencana itu Nabi SAW menegur mereka sambil bersabda : “sesungguhnya aku adalah yang paling bertakwa diantara kalian, tapi aku shalat malam dan juga tidur, aku berpuasa tetapi juga berbuka, dan aku kawin. Barang siapa yang enggan mengikuti sunnahku (cara hidupku), maka bukanlah ia dari kelompok (umat)ku” (HR. Bukhari dan Muslim melalui Anas Ibn Malik)
Firman-Nya la ta’tadu / jangan melampaui batas dengan bentuk kata yang menggunakan huruf ta’ bermakna keterpaksaan, yakni diluar batas yang lumrah. Ini menunjukkan bahwa fitrah manusia mengarah kepada moderasi dalam arti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang wajar tidak berlebih dan tidak juga berkurang. Setiap pelampauan batas adalah semacam pemaksaan terhadap fitrah dan pada dasarnya berat, atau risih melakukannya. Inilah yang di isyaratkan oleh ta’tadu.
Larangan melampaui batas ini, dapat juga berarti bahwa menghalalkan yang haram, atau sebaliknya, merupakan pelampauan batas kewenangan, karena hanya Allah SWT yang berwenang menghalalkan dan mengharamkan. Pada masa jahiliyah kaum musyrikin mengatasnamakan Allah mengharamkan sekian banyak hal yang halal, sebagaimana akan terbaca dalam surah al-an’am. Itu agaknya yang menjadi alasan sehingga ayat in dimulai dengan panggilan ya ayyuhaalladzinan amanu karena penghalalan dan pengharaman seperti itu bertentangan dengan keimanan. Selanjutnya, karena itu pula sehingga ayat berikut yang Masih berkaitan erat dengan ayat ini memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah SWT karena orang-orang mukmin selalu bertaqwa kepada-Nya, dengan mengikuti apa yang diperintahkan-Nya, menjauhi larangan-Nya, menghalalkan apa yang halal dan mengharamkan yang haram.
3.      Al-israa : 29
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
Artinya : “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”
Dan janganlah engkau enggan mengulurkan tanganmu untuk kebaikan seakan akan engkau jadikan tanganmu terbelenggu dengan belenggu kuat yang terikat ke lehermu sehingga engkau tak dapat menhulurkannya dan janganlah juga engkau terlalu mengulurkannya sehingga berlebih lebihan karena itu  menjadikanmu duduk tidak dapat berbuat apa apa lagi tercela oleh dirimu sendiri atau orang lain karena boros, berlebih lebihan dan menyesal tidak memiliki kemampuan karena telah kehabisan harta.
            Kata mashuran terambil dari kata hasara yang berarti tidak berbusana, telanjang aatau todak tertutup. Seseorang yang tidak memakai tutup kepala dinamai hasiru ar ras. seseorang yang keadaannya tertutup dari segi rezeki adalah yang memiliki kecukupan sehingga  ia tidak perlu berkunjung kepada orang lain dan menampakkan diri untuk meminta, karena itu berarti ia membuka kekurangan aibnya.
            Ada juga ulama yang berpendapat bahwa kata tersebut terambil dari kata hasir yang digunakan untuk binatang yang tidak mampu berjalan, sehingga mandek tinggal ditempat. Demikian juga pemboros, pada akhirnya akan mandek dan tidak mampu melakukan aktivitas, baik untuk dirinya sendiri apalgi orang lain sehingga terpaksa hidup tercela.
            Ayat ini menjelaskan salah satu hikmah yang sangat luhur , yakni kebajikan yang merupakan pertengahan antara dua ekstrim. Keberanian adalah pertengahan antara kecerobohan dan sifat pengecut. Kedermawanan adalah pertengaahn antar pemboroosan dengan kekikiran.
Sementara ulama menjadikan kata maluman/tercela merupakan dampak dari kekikiran, sedang mahsuran/tidak memiliki kemampuan adalah dampak dari pemborosan.
B.                      AYAT AYAT LAIN TENTANG SIKAP DAN PERILAKU PRODUSEN
Allah SWT dalam firman-Nya dalam Al – Qur’an surat Al Israa' ayat 26 & 27
Artinya : Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
Artinya : Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.
Dari kedua ayat diatas dapat disimpulkan bahwa seorang konsumen muslim tidak perlu mengeluarkan semua pendapatan bersihnya untuk semua barang dan jasa.


C.                       
BAB III
KESIMPULAN
Pada sikap dan perilaku konsumen yang harus kita lakukan sesuai ajaran islam kitab kita Al qur’an adalah
·      Memakan yang halal lagi baik untuk kesehaatannya
·      Dapat membedakan mana yang halal dan yang haram
·      Konsumen dengan tidak konsumsi berlebih lebihan
·      larangan berlaku bakhil.
·      Tidak berlaku boros membelanjakan harta
·      Dilarang menghalangi diri dengan jalan bernadzar, atau sumpah.
·      Tidak mengharamkan apa yang dihalalkannya
·      Keberanian adalah pertengahan antara kecerobohan dan sifat pengecut.
·      Kedermawanan adalah pertengaahn antar pemboroosan dengan kekikiran.
·      mengharuskan makanan yang baik dan cocok untuk dimakan, tidak kotor atau pun menjijikan sehingga merusak selera. Makan dan minumlah dari semua yang bersih dan bermanfaat. Baik bersih dari segi hukumnya yaitu yang halal, dari segi makanannya harus higienis dan bergizi, maupun bersih dalam mendapatkannya.
·      Seorang konsumen muslim tidak hanya mencapai kepuasan dari konsumsi barang dan jasa, tetapi juga kepuasan yang diperintahkan oleh Allah SWT juga harus kita penuhi sebagai seorang muslim yang bertaqwa. Hal ini berarti kepuasan seorang muslim tidak hanya sebagai fungsi jumlah barang yang dikonsumsi tetapi juga sebagai fungsi dari sedekah.
·      seorang muslim dilarang mengkonsumsi barang yang diharamkan oleh islam seperti alkohol, daging babi, berjudi dan lain sebagainya.
·      Seorang muslim dilarang menerima atau membayar bunga dari berbagai pinjaman.
·      Seorang konsumen muslim harus juga memperhitungkan konsumsinya


·      Kepemilikan, perbedaan
·      Riba macam maacam, definisi
·      Harta dan zakat
·      Sikap dan perilaku konsumen

MAKALAH PEMBIAYAAN MUDHARABAH, MUSYARAKAH, dan WADI'AH


PENDAHULUAN
            Akad berasal dari bahasa Arab ‘aqada artinya mengikat atau mengokohkan. Secara bahasa pengertiannya adalah ikatan, mengikat. Dikatakan ikatan (al-rabath) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan  salah satunya pada yang lainnya, hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.
            Dalam Al-Qur’an kata al-aqdu terdapat pada surat Al-Maidah ayat 1, bahwa manusia diminta untuk memenuhi akadnya. Menurut Gemala Dewi S.H. beliau mengutip pendapat Fathurrahman Djamil, istilah al-aqdu dapat disamakan dengan istilah verbentenis dalam KUH Perdata.
            Menurut Fiqh Islam akad berarti perikatan, perjanjian dan permufakatan (ittifaq). Dalam kaitan ini peranan Ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Qabul (pernyataan menerima ikatan) sangat berpengaruh pada objek perikatannya, apabila ijab dan qabul sesuai dengan ketentuan syari’ah, maka munculah segala akibat hukum dari akad yang disepakati tersebut.
            Menurut Musthafa Az-Zarka suatu akad merupakan ikatan secara hukum yang dilakukan oleh dua atau beberapa pihak yang sama-sama berkeinginan mengikatkan dirinya. Kehendak tersebut sifatnya tersembunyi dalam hati, oleh karena itu menyatakannya masing-masing harus mengungkapkan dalam suatu pernyataan yang disebut Ijab dan Qabul.
            Syarat umum yang harus dipenuhi suatu akad menurut ulama fiqh antara lain, pihak-pihak yang melakukan akad telah cakap bertindak hukum, objek akad harus ada dan dapat diserahkan ketika akad berlangsung, akad dan objek akadnya tidak dilarang syara’, ada manfaatnya, ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis dan tujuan akad harus jelas dan diakui syara’.
            Karena itulah ulama fiqh menetapkan apabila akad telah memenuhi rukun dan syarat mempunyai kekuatan mengikat terhadap pihak-pihak yang melakukan akad. Hal ini sejalan dengan Firman Allah SWT.  Dalam surat Al-Maidah ayat 5 yang artinya “ Hai orang-orang beriman, penuhilah akad-akad itu.
            Dalam makalah ini, penulis akan menjabarkan beberapa jenis akad dalam pembiayaan di perbankan syariah, yaitu akad mudharabah, musyarakah, dan Wadi’ah.
            Dengan tulisan ini diharapkan mampu memberikan pemahaman yang baik dan terarah guna mewujudkan penerapan syariah Islam secara kaffah di industri perbankan syariah di lingkungan kita sendiri maupun di Indonesia tercinta.


PEMBAHASAN

1.                  MUDHARABAH

1.1.Pengertian
Dibawah ini adalah beberapa pengertian mudharabah dari beberapa sumber yang digunakan sebagai acuan, yaitu:
Mudharabah berasal dari kata dharb, berarti memukul atau berjalan. Pengertian memukul atau berjalan ini lebih tepatnya adalah proses seseorang memukulkan kakinya dalam menjalankan usaha. Dan secara tehnis, mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shohibul maal) menyediakan seluruh (100%) modal, sedangkan pihak kedua menjadi pengelola. Keuntungan usaha dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat dari kelalaian si pengelola. Jika kerugian akibat dari kelalaian pengelola, si pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (pemilik dana) menyediakan seluruh dana, sedangkan pihak kedua (pengelola dana) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan sedangkan kerugian finansial hanya ditanggung oleh pengelola dana.
Mudharabah yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak di mana pihak pertama (malik, shahib al-mal, LKS) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak.

1.2.Landasan Syariah
·      Al-Qur’an
tbrãyz#uäur tbqç/ÎŽôØtƒ Îû ÇÚöF{$# tbqäótGö6tƒ `ÏB È@ôÒsù «!$#  
“…dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah…” (al-Muzzammil: 20)

}§øŠs9 öNà6øn=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În/§ 4
“tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari Tuhanmu…” (al-Baqarah: 198)

·      Al-Hadist
“Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yang ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas).
1.3.Rukun Dan Syarat Pembiayaan
Dibawah ini adalah beberapa rukun dan syarat dalam pembiayaan mudharabah yang dimuat dalam fatwa DSN no. 7 tentang mudharabah.
1.      Penyedia dana (shahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.
2.      Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a.       Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b.      Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c.       Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
3.      Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:
a.       Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.
b.      Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c.       Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
4.      Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a.       Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak.
b.      Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk persentase (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan.
c.       Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5.      Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a.       Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b.      Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
c.       Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.


1.4.Jenis Mudharabah
Secara umum mudharabah terdiri dari dua jenis, yaitu:

1.      Mudharabah muthlaqah
adalah mudharabah dimana pemilik dana memberikan kebebasan kepada pengelola dana dalam pengelolaan investasinya.
2.      Mudharabah muqayyadah
adalah mudharabah dimana pemilik dana memberikan batasan kepada pengelola dana, antara lain mengenai tempat, cara dan atau obyek investasi.
Seiring dengan perkembangannya,
            Ada satu jenis mudharabah lagi yaitu “Mudharabah Musytarakah”. Mudharabah musytarakah adalah bentuk mudharabah dimana pengelola dana menyertakan modal atau dananya dalam kerjasama investasi.

1.5.Mekanisme Pembiayaan
Pada sisi pembiayaan, akad mudharabah biasanya diterapkan pada dua hal, yaitu:
1.      Pembiayaan modal kerja, seperti modal kerja perdagangan dan jasa
2.      Investasi khusus, yang disebut juga mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahibul maal


2.                  MUSYARAKAH

2.1.Pengertian
Dibawah ini adalah beberapa pengertian musyarakah dari beberapa sumber yang digunakan sebagai acuan, yaitu:
Musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan sedangkan risiko berdasarkan porsi kontribusi dana.
Musyarakah yaitu pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu, di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.

2.2.Landasan Syariah
·         Al-Qur’an
ôMßgsù âä!%Ÿ2uŽà° Îû Ï]è=W9$# 4
“…Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga…” (an-Nisa’: 12)

¨bÎ)ur #ZŽÏVx. z`ÏiB Ïä!$sÜn=èƒø:$# Éóö6us9 öNåkÝÕ÷èt/ 4n?tã CÙ÷èt/ žwÎ) tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qè=ÏJtãur ÏM»ysÎ=»¢Á9$#
“…Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebahagian mereka berbuat zalim kepada sebahagian yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh…” (Shaad: 24)

·         Al-Hadist
“Allah swt. berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersyarikat selama salah satu pihak tidak mengkhianati pihak yang lain. Jika salah satu pihak telah berkhianat, Aku keluar dari mereka.” (HR. Abu Daud, yang dishahihkan oleh al-Hakim, dari Abu Hurairah).

2.3.Rukun dan syarat pembiayaan
Dibawah ini adalah beberapa rukun dan syarat dalam pembiayaan musyarakah yang dimuat dalam fatwa DSN no. 8 tentang musyarakah.
1.      Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:
a.       Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b.      Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c.       Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.
2.      Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal berikut:
a.       Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
b.      Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.
c.       Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.
d.      Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.
e.       Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.
3.      Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)
a.       Modal
·         Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra.
·         Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
·         Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.
b.      Kerja
·         Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
·         Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.
c.       Keuntungan
·         Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah.
·         Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
·         Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya.
·         Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.
d.      Kerugian
Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.
4.      Biaya Operasional dan Persengketaan
a.       Biaya operasional dibebankan pada modal bersama.
b.      Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

2.4.Jenis Musyarakah
Secara umum, musyarakah terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
1.      Musyarakah permanen adalah musyarakah dengan ketentuan bagian dana setiap mitra ditentukan sesuai akad dan jumlahnya tetap hingga akhir masa akad. Maksud dari musyarakah permanen adalah syirkah uqud yang terbagi menjadi empat jenis, yaitu:
a.       Inan, yaitu Usaha bersama (kongsi) dimana modal dan keahlian yang diberikan tidak sama
b.      Mufawadhah, yaitu Usaha bersama dimana modal dan keahlian yang diberikan sama jumlah dan kualitasnya
c.       Abdan, yaitu Usaha bersama dimana modal yang diberikan adalah keahlian/ tenaga
d.      Wujuh, yaitu Usaha bersama dimana modal yang diberikan adalah nama baik
2.      Musyarakah menurun (musyarakah mutanaqisha) adalah musyarakah dengan ketentuan bagian dana entitas akan dialihkan secara bertahap kepada mitra sehingga bagian dana entitas akan menurun dan pada akhir masa akad mitra akan menjadi pemilik penuh usaha tersebut

2.5.Mekanisme pembiayaan
Pada sisi pembiayaan, akad musyarakah dapat diterapkan pada beberapa hal, diantaranya adalah:
1.      Musyarakah permanen
a.       Pembiayaan proyek
b.      Modal ventura
2.      Musyarakah Mutanaqisah
a.       Pembiayaan real estate


3.                  WADI’AH

3.1.Pengertian
      Dalam tradisi fiqih islam, prinsip titipan/simpanan dikenal dengan prinsip wadi’ah. Al-wadi’ah dapat diartikan sebagai titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum, yang dijaga dan dikembalikan saja si penitip menghendaki.
      Maknanya adalah perjanjian antara pemilik barang (termasuk uang), dimana pihak penyimpan bersedia menyimpan bersedia menyimpan dan menjaga keselamatan barang yang dititipkan kepadanya.

3.2.Landasan Syariah

·         Al-Qur’an
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ  

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha Melihat.

·         Al-Hadist
عن ابى هريرة قال : قال النبى صرم ادالامانة الى من ائتمنك ولا تخن من خنك
Artinya : Abu Hurairah meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “Sampaikanlah (tunaikanlah) amanat kepada yang berhak menerimanya dan jangan membalas berkhianat kepada orang yang telah menghianatimu.

3.3. Rukun dan syarat wadi’ah
ü         . Rukun Wadi’ah
1. Orang yang berakad, yaitu :
Ø Pemilik barang / penitip (muwadi’)
Ø Pihak yang menyimpan / dititipi (mustauda’)
2. Barang / uang yang dititipkan (wadi’ah)
3. Ijab qobul / kata sepakat (sighot)

ü         Syarat Wadi’ah
1. Orang yang berakad harus :
Ø Baligh
Ø Berakal
Ø Cerdas
2. Barang titipan harus :
Ø Jelas (diketahui jenias / indentitasnya)
Ø Dapat di pegang
Ø Dapat dikuasai untuk di pelihara

3.4.Jenis Wadi’ah
1. Yad Adh-Dhamanah
Yaitu akad penitipan barang / uang, dimana pihak penerimaan titipan dapat memanfaatkannya dan harus bertanggung jawab atas kerusakan dan kehilangan.
2. Yad Al-Amanah
Yaitu : titipan murni, yang artinya orang yang diminta untuk menjaga barang titipan diberikan amanat atau kepercayaan untuk menjaga barang tersebut dari segala hal yang dapat merusaknya.
Perbedaan :
1. Yad Adh-Dhamanah
Ø Obyek boleh dimanfaatkan
Ø Kerusakan ditanggung pengguna
Ø Biaya perawatan ditanggung pengguna
2. Yad Al-Amanah
Ø Obyek tidak boleh dimanfaatkan
Ø Krusakan ditanggung oleh pemilik
Ø Biaya perawatan ditanggung pemilik

3.5.Menejemen pembiayaan
Bank sebagai penerima simpanan dapat memanfaatkan wadi’ah untuk tujuan :
Ø Giri
Ø Tabungan
Sebagai konsekuen dari yad-Adh Dhamanah, semua keuntungan dihasilkan dari dana titipan tersebut menjadi milik bank (juga menanggung seluruh kemungkinan kerugian), sedangkan si penyimpan mendapat imbalan jaminan keamanan terhadap barangnya dan juga bank tidak dilarang memberikan bonus yang merupakan kebijakan dari manajemen bank.
               Dalam perbankan modern yang penuh dengan kompetensi, insentif atau bonus semacam ini dijadikan sebagai banking policy untuk merangsang semangat menabung yang sebagai indicator kesehatan bank.





















DAFTAR PUSTAKA



Al-Qur’an Al-Karim.
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press.
DSN. Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) no. 5, 7, 8.
IAI. Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) no. 103, 105, 106.
Karim, Adiwarman. 2002. Ekonomi Mikro Islami. Jakarta: The International Institute of Islamic Thought Indonesia.