KARAKTERISTIK
AJARAN ISLAM DALAM PENDIDIKAN
A.
Pendahuluan
Setiap
agama mempunyai karakteristik ajaran yang membedakan dari agama-agama lain. Agama yang didakwahkan secara sungguh-sungguh
diharapkan dapat menyelematkan dunia yang terpecah-pecah dalam berbagai
bagian-bagian. Perpecahan saling mengintai dan berbagai krisis yang belum
diketahui bagaimana cara mengatasinya.
Tidak
mudah membahas karakteristik ajaran islam, karena ruanglingkupnya sangat luas,
mencakup berbagai aspek kehidupan umat islam. Untuk mengkaji secara rinci semua
karakteristik ajaran islam perlu di telusuri, mulai dari risalah Allah terakhir
dan menjadi agama yang diridloi Allah, untuk dunia dan seluruh umat manusia
sampai datangnya hari kiamat.
Karakteristik
yang dimiliki islam, yakni karakteristik ilmu dan kebudayaan, pendidikan,
sosial, ekonomi, kesehatan, politik, pekerjaan, dan disiplin ilmu.
Karakteristik ajaran islam adalah suatu karakter yang harus dimiliki oleh umat
muslim dengan bersandarkan Al-Qur'an dan Hadist dalam berbagai bidang
ilmu,kebudayaan, pendidikan.sosial, ekonomi, kesehatan, politik, pekerjaan,
disiplin ilmu,dan berbagai macam ilmu khusus. Karakteristik ini banyak terdapat
di dalam sumber-sumber ajaran Al-Quran dan Al-Hadits. Kedua sumber ini telah
menjadi pedoman hidup bagi setiap umat Islam. Aspek-aspek sumber kehidupan ini
diberi karakter tersendiri dalam berbagai ilmu pengetahuan, ekonomi, social,
politik, pekerjaan, kesehatan, dan disiplin ilmu untuk sepanjang masa.
Islam
dalam potret yang ditampilkan Muhammad Iqbal bernuansa filosofis dan sufistik.
Islam yang ditampilkan Fazlur Rohman bernuansa histories dan filosofis.Islam
yang ditampulkan pemikir dari Iran seperti Ali Syariati, Sayyed Husain Nasr,
dan Murthada Muthahari banyak menguasai pemikiran filsafat modern dan ilmu
social yang berasal dari barat.
B.
Pembahasan
Istilah karakteristik ajaran islam terdiri dari
dua kata: karakteristik dan ajaran islam. Kata karakteristik dalam kamus bahasa
Indonesia, diartikan sesuatu yang mempunyai karakter atau sifat yang khas.
Islam dapat diartikan agama yang diajarkan nabi Muhammad SAW yang berpedoman
pada kitab suci al qur'an dan diturunkan di dunia ini melalui wahyu allah SWT.
Berarti karakteristik jaran islam dapat diartikan sebagai ciri yang khas atau
khusus yang mempelajari tentang berbagai ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia
dalam berbagai bidang agama, muamalah (kemanusiaan), yang didalamnya temasuk
ekonomi, social, politik, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, lingkungan, dan
disiplin ilmu.
Keimanan terhadap
Islam sebagai sebuah manhajul hayah (sistem hidup) akan senantiasa membawa
seorang muslim untuk kembali kepada ajaran agamanya. Segala permasalahan akan
diupayakan untuk ditinjau dari “kaca mata” Islam. Bagaimana Islam mendudukkan
persoalan tertentu, demikian pula seorang muslim akan mendudukkan persoalan
tersebut.
Dunia pendidikan,
dalam hal ini, tidak terkecuali. Seorang guru atau tenaga pendidik muslim,
sebelum dia berperan sebagai guru atau tenaga pendidik, dia adalah seorang
muslim. Artinya, dia akan memenuhi panggilan hati nuraninya untuk senantiasa
membawa misi Islam dalam kehidupannya. Dan misi Islam itu adalah: rahmatan lil
’alamin.
Meletakkan wacana
pendidikan dalam bingkai ajaran Islam, tentu juga bukan sesuatu yang aneh.
Sebab, para nabi dan rasu sendiri, yang merupakan manusia-manusia figur
keagamaan, adalah guru-guru kehidupan. Tugas pokok dan misi utama mereka adalah
pendidikan dan pengajaran. Mereka adalah tokoh-tokoh pendidikan.
Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT
mengabadikan doa Nabi Ibrahim, bapak para nabi:
$uZ/u ô]yèö/$#ur öNÎgÏù Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Gt öNÍkön=tæ y7ÏG»t#uä ÞOßgßJÏk=yèãur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur öNÍkÏj.tãur 4 y7¨RÎ) |MRr& âÍyèø9$# ÞOÅ3ysø9$# ÇÊËÒÈ
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka
sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka
ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan
Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha
Kuasa lagi Maha Bijaksana” (QS:AL-Baqarah:129).
Ayat
ini dalam konteks doa Ibrahim untuk anak cucu putranya, Ismail ‘alaihimas
salam. Lebih spesifik, ayat ini tentang penutup para nabi sekaligus nabi
termulia: Muhammad SAW, Dalam doanya itu, Ibrahim merinci misi kenabian Rasulullah
SAW, Ia menyebut tiga strategi: membacakan, mengajarkan dan mensucikan. Tak
pelak, ketiganya adalah tugas pendidik. Tidak salah bila dikatakan bahwa
pendidikan adalah bagian integral dan tak terpisahkan dari ajaran Islam.
Dua segi yang dianggap paling mendasar
dalam ajaran islam bagi pendidikan yaitu :
1. Motivasi
Keagamaan
Dari
Zaid bin Tsabit radhiyallahu ’anhu, ”Aku dibawa menghadap Nabi shallallahu
’alaihi wasallam ketika beliau baru tiba di Madinah. Orang-orang berkata,
’Ya Rasulallah, anak ini dari Bani Najjar (sebuah riwayat menyebut usianya
waktu itu sebelas tahun). Ia telah hapal tujuh belas surah yang diturunkan
padamu.
’Aku
kemudian memperdengarkan hapalanku di depan Rasulullah. Beliau kagum dengan
bacaanku.
’Beliau berkata,
’Ya Zaid, belajarlah untukku tulisan Yahudi (sebuah riwayat menyebut waktu itu
dia bahkan tidak tahu bahasa Yahudi, Suryaniyah). Demi Allah, aku tidak percaya
mereka menulis untukku.
Aku kemudian
belajar bahasa Yahudi. Tidak sampai setengah bulan, aku telah mampu bahasa
Yahudi. Akulah yang menulis surat buat Rasulullah bila beliau bersurat kepada
orang-orang Yahudi.
Sejarah Islam
penuh dengan daftar ulama dan ilmuwan dalam segala bidang dan spesialisasi. Di
zaman mereka, tidak ada sistem gaji atau bonus. Apalagi proyek yang disokong
dengan kucuran dana dari pemerintah atau lembaga-lembaga donatur. Tapi,
demikianlah. Mereka tetap bekerja dengan tekun walaupun dalam hening. Sebab
mereka tahu, ganjaran mereka menunggu di akhirat. Sumber motivasi mereka satu:
agama.
Agama adalah rahasia sejarah yang terbesar. Sepanjang sejarah manusia, tidak ada faktor yang mampu menggerakkan bahkan mengarahkan jarum sejarah seperti yang dilakukan agama.
Agama adalah rahasia sejarah yang terbesar. Sepanjang sejarah manusia, tidak ada faktor yang mampu menggerakkan bahkan mengarahkan jarum sejarah seperti yang dilakukan agama.
Sayangnya, secara
sadar ataupun tidak, pendidikan kita selama ini lebih kerap mengabaikan faktor
agama. Agama atau sisi spiritual kehidupan manusia cenderung dilupakan kalau
tidak malah diupayakan untuk disingkirkan. Padalah, pada sisi inilah tersimpan
potensi dahsyat manusia. Karena ia merupakan puncak kesadaran tertinggi
kehidupannya.
Lebih jauh, praktik pendidikan kemudian hanya memandang manusia sebagai instrumen material. Baik itu instrumen bagi kekokohan suatu negara atau bahkan ideologi tertentu. Dalam banyak kasus, paradigma pertumbuhan (atau dalam bahasa populer: pengembangan sumber daya manusia) yang merupakan representasi ideologi kapitalistik kerap menjadi acuan.
Lebih jauh, praktik pendidikan kemudian hanya memandang manusia sebagai instrumen material. Baik itu instrumen bagi kekokohan suatu negara atau bahkan ideologi tertentu. Dalam banyak kasus, paradigma pertumbuhan (atau dalam bahasa populer: pengembangan sumber daya manusia) yang merupakan representasi ideologi kapitalistik kerap menjadi acuan.
Dalam kerangka
pendidikan yang “berbau” kapitalistik ini, peserta didik diarahkan untuk
menjadi buruh atau tenaga kerja yang berkualitas. Bukan untuk menjadi manusia
yang mandiri dengan cita-cita yang tinggi. Di sini, azas manfaat yang berjangka
pendek mendominasi. Tujuan pendidikan model ini jelas: untuk menjadi penopang
bagi kelestarian kapitalisme global.
Islam menawarkan
paradigma ”langit.” Pendidikan dan belajar adalah bagian dari iman. Tujuannnya:
menyempurnakan ubudiyah kepada Allah subhanahu wata’ala (ibadah). Azasnya juga
jelas: kemaslahatan bagi umat dan kemanusiaan (khilafah atau ’imaratul ardh), dalam
ungkapan yang sedikit menyindir, al-Attas, seorang pakar pendidikan dalam islam
menyindir bahwa warga negara atau pekerja yang baik dalam sebuah negara
sekuler, sebagai contoh, tidak sama dengan manusia yang baik/shalih
(simplifikasi istilah untuk ibadah dan khilafatul ’ardh). Sebaliknya, manusia
yang baik/shalih sudah pasti seorang pekerja dan warga negara yang baik.
Dengan kata lain, pelajar yang memiliki motivasi keagamaam dalam belajar dan bekerja akan memiliki etos kerja dan kreativitas sekaligus. Sebab, dia bekerja dengan semangat yang terpaut dengan keyakinan dasar agama. Pekerjaan yang dia geluti akan dia posisikan sebagai bagian dari pengabdiannya kepada Allah.
Dengan kata lain, pelajar yang memiliki motivasi keagamaam dalam belajar dan bekerja akan memiliki etos kerja dan kreativitas sekaligus. Sebab, dia bekerja dengan semangat yang terpaut dengan keyakinan dasar agama. Pekerjaan yang dia geluti akan dia posisikan sebagai bagian dari pengabdiannya kepada Allah.
Di samping itu,
dia juga kreatif. Dia tidak akan pernah terpaku pada satu kondisi tertentu.
Sebab, dia melihat pekerjaan dan pengabdiannya dalam kerangka yang lebih luas.
Untuk kemajuan Islam, umat Islam dan kemanusiaan. Ia akan terus mengabdi, sejauh
pelajaran dan pekerjaannya itu demi mewujudkan kemajuan tersebut.
2. Pendidikan
Berbasis Adab Dan Akhlak
Pada titik ini,
konsepsi pendidikan dalam islam, yang meletakkan adab dan akhlak sebagai
fondasinya, sangat tepat dikemukakan. Sebelum melangkah lebih jauh, segera
harus digarisbawahi bahwa adab dan akhlak hendaknya tidak dipahami sebagai
dasar-dasar moral tanpa bentuk-bentuk praktis dalam kehidupan keseharian.
Sebagaimana adab dan akhlak juga tidak boleh dipahami sebatas tata krama dan
etika praktis, sehingga tidak menyentuh nilai-nilai kecendikiawanan dan tradisi
keintelektualan yang menjadi basis bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Apa yang
dimaksud dengan adab dan akhlak di sini adalah kualitas-kualitas mental,
spiritual, sikap dan perilaku dan yang mencakup itu semua.
Pendidikan dalam
islam meletakkan pendidikan adab dan akhlak dalam posisi yang sangat sentral.
Pengamatan sepintas penulis menunjukkan bahwa hampir tidak ditemukan satu pun
tulisan ulama yang membahas thalab al-‘ilm (belajar dan pembelajaran) tanpa
memberi penekanan khusus pada aspek ini.
Al-Husain ibn
Ismail menceritakan dari ayahnya bahwa manusia yang menghadiri majlis Imam
Ahmad bin Hambal sekitar 5000-an orang atau lebih. Dari jumlah tersebut, kurang
dari 500 orang yang mencatat pelajaran. Sisanya datang untuk belajar adab dan
budi pekerti Imam Ahmad! Patut dicatat bahwa majlis-majlis ilmu pada masa itu,
sebagaimana dilaporkan Imam az-Dzahabi, umumnya dihadiri oleh ratusan ulama
yang berkualifikasi dapat mengeluarkan fatwa sendiri. Persaksian ini menegaskan
posisi pendidikan adab dan akhlak dalam tradisi keilmuan Islam.
Lebih jauh, dalam
pendidikan dalam islam, pendidikan adab dan akhlak bahkan didahulukan daripada
pendidikan pada segi-segi yang lain. “Pendahulu-pendahulu saya,” tutur Sufyan
at-Tsauri (w. 161 H.), “tidak mengizinkan anak-anak mereka keluar menuntut ilmu
sebelum anak-anak tersebut beradab dan terbiasa dengan ibadah dua puluh tahun.”
Pernyataan senada diungkapkan juga oleh Muhammad ibn Sirin (w. 110 H.),
Ubaidullah ibn Umar (w. 147 H.), al-Laits ibn Saad (w. 175 H.), Abdullah ibn
al-Mubarak (w. 181 H.), Mikhlad ibn Husain (w. 191 H.), Ibrahim ibn Habib
as-Syahid (w. 203 H.), dll. Itu sebabnya, dahulu dikenal istilah mu-addib.
Istilah ini untuk merujuk kepada orang-orang yang secara khusus melatih hapalan
Al-Qur’an, mengajarkan membaca, menulis, dan melatih adab, akhlak dan ibadah kepada
anak-anak didiknya.
Penekanan pada
aspek adab dan akhlak dalam dalam pendidikan dalam islam tersebut tampaknya
karena, dalam perspektif Islam, belajar bukanlah demi dan untuk belajar itu
sendiri. Tapi belajar dianggap sebagai bagian dari usaha mendapat hidayah. Ilmu
bahkan dipersepsikan sebagai bagian dari hidayah itu sendiri.
Imam as-Syafi’i menceritakan pengalamannya dalam sebuah lantunan sya’ir:
شكوت إلى وكيع سوء حفظي # فأرشدني إلى ترك المعاصي
وأخـبرنـي بأن العـلم نـور # ونور الله لا يهدى للعاصي
Ungkapan ini adalah penjabaran dari hadits Rasulullah
من يرد الله به خيرا يفقّهه في الدين
Artinya: “Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan bagi dirinya, Allah akan memberikan kepadanya pemahaman terhadap agama.”
Imam as-Syafi’i menceritakan pengalamannya dalam sebuah lantunan sya’ir:
شكوت إلى وكيع سوء حفظي # فأرشدني إلى ترك المعاصي
وأخـبرنـي بأن العـلم نـور # ونور الله لا يهدى للعاصي
Ungkapan ini adalah penjabaran dari hadits Rasulullah
من يرد الله به خيرا يفقّهه في الدين
Artinya: “Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan bagi dirinya, Allah akan memberikan kepadanya pemahaman terhadap agama.”
Di sinilah
mungkin salah satu perbedaan antara pendidikan yang kita kembangkan dengan pendidikan
dalam islam. Dalam pendidikan kita, aksiologi ilmu justru diletakkan di urutan
terakhir. Tradisi intelektual dan kecendikiawanan yang seharusnya ditanamkan
sejak dini, baru ditanamkan ketika peserta didik menginjak bangku kuliah. Tugas
mengkaji, metodologi penelitian, kemampuan berpikir kritis dan logis, objektif
dalam menilai, jujur, sportif, dsj, nanti diberikan pada usia dewasa. Padahal,
bila kita benar-benar menginginkan agar nilai-nilai tersebut dapat tertanam
dalam sikap dan prilaku peserta didik, seharusnyalah sudah ditekankan lebih
awal.
C. Kesimpulan
Karakteristik
ajaran islam secara dominant ditandai oleh pendekatan normative, histories, dan
filosofis.
Ajaran islam memiliki
cirri-ciri yang secara kesuluruhan amat ideal. Islam agama yang mengajarkan
perdamaian, toleransi terbuka, kebersamaan, egaliter, kerja keras yang bermutu,
demokratis, adil, seimbang antara urusan dunia dan akherat. Islam memiliki
kepekaan terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Islam juga tampil sebagai disiplin ilmu, yaitu ilmu keislaman
dengan berbagai cabangnya. Karakteristik isalm yang demikian ideal itu tampak
masih belum seluruhnya diketahui dan diamalkan.
Antara ajaran islam yang ideal dan kenyatan umatnya msih ada
kesenjangan. Hal ini memerlukan pemecahan, antar lain dengan merumuskan kembali
metode dan pendekatan dalm memahami islam.
DAFTAR PUSTAKA
Muhaimin. 2011. Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan
Pendidikan dalam Islam. Jakarta: Rajawali Pers. Novia, Rina. 2010. Super Teacher Super Student. Jakarta:
Zikrul Hakim.
Arifin, H.M. 2006. Ilmu Pendidikan Islam (Tinjauan Teoritis Dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Multidispliner). Jakarta: Bumi Aksara.
Abdullah,
Amin, M., (1999), Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
http://dinklis.blogspot.com/2010/11/karakteristik-dalam-pendidikan-islam.html
0 komentar:
Posting Komentar