Pages

http://ariefmuliadi30.blogspot.com/. Diberdayakan oleh Blogger.

Sabtu, 12 Januari 2013

KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM DALAM PENDIDIKAN


         KARAKTERISTIK AJARAN ISLAM DALAM PENDIDIKAN
A. Pendahuluan
         Setiap agama mempunyai karakteristik ajaran yang membedakan dari agama-agama lain.  Agama yang didakwahkan secara sungguh-sungguh diharapkan dapat menyelematkan dunia yang terpecah-pecah dalam berbagai bagian-bagian. Perpecahan saling mengintai dan berbagai krisis yang belum diketahui bagaimana cara mengatasinya.
         Tidak mudah membahas karakteristik ajaran islam, karena ruanglingkupnya sangat luas, mencakup berbagai aspek kehidupan umat islam. Untuk mengkaji secara rinci semua karakteristik ajaran islam perlu di telusuri, mulai dari risalah Allah terakhir dan menjadi agama yang diridloi Allah, untuk dunia dan seluruh umat manusia sampai datangnya hari kiamat.
         Karakteristik yang dimiliki islam, yakni karakteristik ilmu dan kebudayaan, pendidikan, sosial, ekonomi, kesehatan, politik, pekerjaan, dan disiplin ilmu. Karakteristik ajaran islam adalah suatu karakter yang harus dimiliki oleh umat muslim dengan bersandarkan Al-Qur'an dan Hadist dalam berbagai bidang ilmu,kebudayaan, pendidikan.sosial, ekonomi, kesehatan, politik, pekerjaan, disiplin ilmu,dan berbagai macam ilmu khusus. Karakteristik ini banyak terdapat di dalam sumber-sumber ajaran Al-Quran dan Al-Hadits. Kedua sumber ini telah menjadi pedoman hidup bagi setiap umat Islam. Aspek-aspek sumber kehidupan ini diberi karakter tersendiri dalam berbagai ilmu pengetahuan, ekonomi, social, politik, pekerjaan, kesehatan, dan disiplin ilmu untuk sepanjang masa.
         Islam dalam potret yang ditampilkan Muhammad Iqbal bernuansa filosofis dan sufistik. Islam yang ditampilkan Fazlur Rohman bernuansa histories dan filosofis.Islam yang ditampulkan pemikir dari Iran seperti Ali Syariati, Sayyed Husain Nasr, dan Murthada Muthahari banyak menguasai pemikiran filsafat modern dan ilmu social yang berasal dari barat.

 
B. Pembahasan
        Istilah karakteristik ajaran islam terdiri dari dua kata: karakteristik dan ajaran islam. Kata karakteristik dalam kamus bahasa Indonesia, diartikan sesuatu yang mempunyai karakter atau sifat yang khas. Islam dapat diartikan agama yang diajarkan nabi Muhammad SAW yang berpedoman pada kitab suci al qur'an dan diturunkan di dunia ini melalui wahyu allah SWT. Berarti karakteristik jaran islam dapat diartikan sebagai ciri yang khas atau khusus yang mempelajari tentang berbagai ilmu pengetahuan dan kehidupan manusia dalam berbagai bidang agama, muamalah (kemanusiaan), yang didalamnya temasuk ekonomi, social, politik, pendidikan, kesehatan, pekerjaan, lingkungan, dan disiplin ilmu.
Keimanan terhadap Islam sebagai sebuah manhajul hayah (sistem hidup) akan senantiasa membawa seorang muslim untuk kembali kepada ajaran agamanya. Segala permasalahan akan diupayakan untuk ditinjau dari “kaca mata” Islam. Bagaimana Islam mendudukkan persoalan tertentu, demikian pula seorang muslim akan mendudukkan persoalan tersebut.
Dunia pendidikan, dalam hal ini, tidak terkecuali. Seorang guru atau tenaga pendidik muslim, sebelum dia berperan sebagai guru atau tenaga pendidik, dia adalah seorang muslim. Artinya, dia akan memenuhi panggilan hati nuraninya untuk senantiasa membawa misi Islam dalam kehidupannya. Dan misi Islam itu adalah: rahmatan lil ’alamin.
Meletakkan wacana pendidikan dalam bingkai ajaran Islam, tentu juga bukan sesuatu yang aneh. Sebab, para nabi dan rasu sendiri, yang merupakan manusia-manusia figur keagamaan, adalah guru-guru kehidupan. Tugas pokok dan misi utama mereka adalah pendidikan dan pengajaran. Mereka adalah tokoh-tokoh pendidikan.
Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT mengabadikan doa Nabi Ibrahim, bapak para nabi:
$uZ­/u ô]yèö/$#ur öNÎgÏù Zwqßu öNåk÷]ÏiB (#qè=÷Gtƒ öNÍköŽn=tæ y7ÏG»tƒ#uä ÞOßgßJÏk=yèãƒur |=»tGÅ3ø9$# spyJõ3Ïtø:$#ur öNÍkŽÏj.tãƒur 4 y7¨RÎ) |MRr& âƒÍyèø9$# ÞOŠÅ3ysø9$# ÇÊËÒÈ
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka sesorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka Al Kitab (Al Quran) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana” (QS:AL-Baqarah:129).
         Ayat ini dalam konteks doa Ibrahim untuk anak cucu putranya, Ismail ‘alaihimas salam. Lebih spesifik, ayat ini tentang penutup para nabi sekaligus nabi termulia: Muhammad SAW, Dalam doanya itu, Ibrahim merinci misi kenabian Rasulullah SAW, Ia menyebut tiga strategi: membacakan, mengajarkan dan mensucikan. Tak pelak, ketiganya adalah tugas pendidik. Tidak salah bila dikatakan bahwa pendidikan adalah bagian integral dan tak terpisahkan dari ajaran Islam.
Dua segi yang dianggap paling mendasar dalam ajaran islam bagi pendidikan yaitu :
1.       Motivasi Keagamaan
         Dari Zaid bin Tsabit radhiyallahu ’anhu, ”Aku dibawa menghadap Nabi shallallahu ’alaihi wasallam ketika beliau baru tiba di Madinah.  Orang-orang berkata, ’Ya Rasulallah, anak ini dari Bani Najjar (sebuah riwayat menyebut usianya waktu itu sebelas tahun). Ia telah hapal tujuh belas surah yang diturunkan padamu.
 ’Aku kemudian memperdengarkan hapalanku di depan Rasulullah. Beliau kagum dengan bacaanku.
’Beliau berkata, ’Ya Zaid, belajarlah untukku tulisan Yahudi (sebuah riwayat menyebut waktu itu dia bahkan tidak tahu bahasa Yahudi, Suryaniyah). Demi Allah, aku tidak percaya mereka menulis untukku.
Aku kemudian belajar bahasa Yahudi. Tidak sampai setengah bulan, aku telah mampu bahasa Yahudi. Akulah yang menulis surat buat Rasulullah bila beliau bersurat kepada orang-orang Yahudi.
Sejarah Islam penuh dengan daftar ulama dan ilmuwan dalam segala bidang dan spesialisasi. Di zaman mereka, tidak ada sistem gaji atau bonus. Apalagi proyek yang disokong dengan kucuran dana dari pemerintah atau lembaga-lembaga donatur. Tapi, demikianlah. Mereka tetap bekerja dengan tekun walaupun dalam hening. Sebab mereka tahu, ganjaran mereka menunggu di akhirat. Sumber motivasi mereka satu: agama.

         Agama adalah rahasia sejarah yang terbesar. Sepanjang sejarah manusia, tidak ada faktor yang mampu menggerakkan bahkan mengarahkan jarum sejarah seperti yang dilakukan agama.
Sayangnya, secara sadar ataupun tidak, pendidikan kita selama ini lebih kerap mengabaikan faktor agama. Agama atau sisi spiritual kehidupan manusia cenderung dilupakan kalau tidak malah diupayakan untuk disingkirkan. Padalah, pada sisi inilah tersimpan potensi dahsyat manusia. Karena ia merupakan puncak kesadaran tertinggi kehidupannya.
         Lebih jauh, praktik pendidikan kemudian hanya memandang manusia sebagai instrumen material. Baik itu instrumen bagi kekokohan suatu negara atau bahkan ideologi tertentu. Dalam banyak kasus, paradigma pertumbuhan (atau dalam bahasa populer: pengembangan sumber daya manusia) yang merupakan representasi ideologi kapitalistik kerap menjadi acuan.
Dalam kerangka pendidikan yang “berbau” kapitalistik ini, peserta didik diarahkan untuk menjadi buruh atau tenaga kerja yang berkualitas. Bukan untuk menjadi manusia yang mandiri dengan cita-cita yang tinggi. Di sini, azas manfaat yang berjangka pendek mendominasi. Tujuan pendidikan model ini jelas: untuk menjadi penopang bagi kelestarian kapitalisme global.
Islam menawarkan paradigma ”langit.” Pendidikan dan belajar adalah bagian dari iman. Tujuannnya: menyempurnakan ubudiyah kepada Allah subhanahu wata’ala (ibadah). Azasnya juga jelas: kemaslahatan bagi umat dan kemanusiaan (khilafah atau ’imaratul ardh), dalam ungkapan yang sedikit menyindir, al-Attas, seorang pakar pendidikan dalam islam menyindir bahwa warga negara atau pekerja yang baik dalam sebuah negara sekuler, sebagai contoh, tidak sama dengan manusia yang baik/shalih (simplifikasi istilah untuk ibadah dan khilafatul ’ardh). Sebaliknya, manusia yang baik/shalih sudah pasti seorang pekerja dan warga negara yang baik. 

         Dengan kata lain, pelajar yang memiliki motivasi keagamaam dalam belajar dan bekerja akan memiliki etos kerja dan kreativitas sekaligus. Sebab, dia bekerja dengan semangat yang terpaut dengan keyakinan dasar agama. Pekerjaan yang dia geluti akan dia posisikan sebagai bagian dari pengabdiannya kepada Allah.
Di samping itu, dia juga kreatif. Dia tidak akan pernah terpaku pada satu kondisi tertentu. Sebab, dia melihat pekerjaan dan pengabdiannya dalam kerangka yang lebih luas. Untuk kemajuan Islam, umat Islam dan kemanusiaan. Ia akan terus mengabdi, sejauh pelajaran dan pekerjaannya itu demi mewujudkan kemajuan tersebut.

2. Pendidikan Berbasis Adab Dan Akhlak
Pada titik ini, konsepsi pendidikan dalam islam, yang meletakkan adab dan akhlak sebagai fondasinya, sangat tepat dikemukakan. Sebelum melangkah lebih jauh, segera harus digarisbawahi bahwa adab dan akhlak hendaknya tidak dipahami sebagai dasar-dasar moral tanpa bentuk-bentuk praktis dalam kehidupan keseharian. Sebagaimana adab dan akhlak juga tidak boleh dipahami sebatas tata krama dan etika praktis, sehingga tidak menyentuh nilai-nilai kecendikiawanan dan tradisi keintelektualan yang menjadi basis bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Apa yang dimaksud dengan adab dan akhlak di sini adalah kualitas-kualitas mental, spiritual, sikap dan perilaku dan yang mencakup itu semua.
Pendidikan dalam islam meletakkan pendidikan adab dan akhlak dalam posisi yang sangat sentral. Pengamatan sepintas penulis menunjukkan bahwa hampir tidak ditemukan satu pun tulisan ulama yang membahas thalab al-‘ilm (belajar dan pembelajaran) tanpa memberi penekanan khusus pada aspek ini.
Al-Husain ibn Ismail menceritakan dari ayahnya bahwa manusia yang menghadiri majlis Imam Ahmad bin Hambal sekitar 5000-an orang atau lebih. Dari jumlah tersebut, kurang dari 500 orang yang mencatat pelajaran. Sisanya datang untuk belajar adab dan budi pekerti Imam Ahmad! Patut dicatat bahwa majlis-majlis ilmu pada masa itu, sebagaimana dilaporkan Imam az-Dzahabi, umumnya dihadiri oleh ratusan ulama yang berkualifikasi dapat mengeluarkan fatwa sendiri. Persaksian ini menegaskan posisi pendidikan adab dan akhlak dalam tradisi keilmuan Islam.
Lebih jauh, dalam pendidikan dalam islam, pendidikan adab dan akhlak bahkan didahulukan daripada pendidikan pada segi-segi yang lain. “Pendahulu-pendahulu saya,” tutur Sufyan at-Tsauri (w. 161 H.), “tidak mengizinkan anak-anak mereka keluar menuntut ilmu sebelum anak-anak tersebut beradab dan terbiasa dengan ibadah dua puluh tahun.” Pernyataan senada diungkapkan juga oleh Muhammad ibn Sirin (w. 110 H.), Ubaidullah ibn Umar (w. 147 H.), al-Laits ibn Saad (w. 175 H.), Abdullah ibn al-Mubarak (w. 181 H.), Mikhlad ibn Husain (w. 191 H.), Ibrahim ibn Habib as-Syahid (w. 203 H.), dll. Itu sebabnya, dahulu dikenal istilah mu-addib. Istilah ini untuk merujuk kepada orang-orang yang secara khusus melatih hapalan Al-Qur’an, mengajarkan membaca, menulis, dan melatih adab, akhlak dan ibadah kepada anak-anak didiknya.
Penekanan pada aspek adab dan akhlak dalam dalam pendidikan dalam islam tersebut tampaknya karena, dalam perspektif Islam, belajar bukanlah demi dan untuk belajar itu sendiri. Tapi belajar dianggap sebagai bagian dari usaha mendapat hidayah. Ilmu bahkan dipersepsikan sebagai bagian dari hidayah itu sendiri. 
    Imam as-Syafi’i menceritakan pengalamannya dalam sebuah lantunan sya’ir:
شكوت إلى وكيع سوء حفظي #  فأرشدني إلى ترك المعاصي
وأخـبرنـي بأن العـلم نـور # ونور الله لا يهدى للعاصي
Ungkapan ini adalah penjabaran dari hadits Rasulullah 
من يرد الله به خيرا يفقّهه في الدين 
         Artinya:
Barangsiapa yang Allah menghendaki kebaikan bagi dirinya, Allah akan memberikan kepadanya pemahaman terhadap agama.
Di sinilah mungkin salah satu perbedaan antara pendidikan yang kita kembangkan dengan pendidikan dalam islam. Dalam pendidikan kita, aksiologi ilmu justru diletakkan di urutan terakhir. Tradisi intelektual dan kecendikiawanan yang seharusnya ditanamkan sejak dini, baru ditanamkan ketika peserta didik menginjak bangku kuliah. Tugas mengkaji, metodologi penelitian, kemampuan berpikir kritis dan logis, objektif dalam menilai, jujur, sportif, dsj, nanti diberikan pada usia dewasa. Padahal, bila kita benar-benar menginginkan agar nilai-nilai tersebut dapat tertanam dalam sikap dan prilaku peserta didik, seharusnyalah sudah ditekankan lebih awal.

C. Kesimpulan
         Karakteristik ajaran islam secara dominant ditandai oleh pendekatan normative, histories, dan filosofis.
 Ajaran islam memiliki cirri-ciri yang secara kesuluruhan amat ideal. Islam agama yang mengajarkan perdamaian, toleransi terbuka, kebersamaan, egaliter, kerja keras yang bermutu, demokratis, adil, seimbang antara urusan dunia dan akherat. Islam memiliki kepekaan terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Islam juga tampil sebagai disiplin ilmu, yaitu ilmu keislaman dengan berbagai cabangnya. Karakteristik isalm yang demikian ideal itu tampak masih belum seluruhnya diketahui dan diamalkan.
Antara ajaran islam yang ideal dan kenyatan umatnya msih ada kesenjangan. Hal ini memerlukan pemecahan, antar lain dengan merumuskan kembali metode dan pendekatan dalm memahami islam.

 






DAFTAR PUSTAKA



Muhaimin. 2011. Pemikiran dan Aktualisasi Pengembangan Pendidikan dalam Islam. Jakarta: Rajawali Pers. Novia, Rina. 2010. Super Teacher Super Student. Jakarta: Zikrul Hakim.


Arifin, H.M. 2006. Ilmu Pendidikan Islam (Tinjauan Teoritis Dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Multidispliner). Jakarta: Bumi Aksara.


Abdullah, Amin, M., (1999), Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, Yogyakarta: Pustaka Pelajar

http://dinklis.blogspot.com/2010/11/karakteristik-dalam-pendidikan-islam.html

0 komentar:

Posting Komentar