A. SYAR’U MAN QABLANA
1. Pengertian
Ada
pengertian yang menjelaskan tentang syar‟un man qablana, yaitu:
“Segala apa yang dinukilkan kepada kita
dari hukum-hukum syara‟ yang telah disyaratkan Allah swt. bagi umat-umat dahulu
melalui nabi-nabinya yang diutus kepada umat itu seperti Nabi Ibrahiem, Nabi
Musa, dan Nabi Isya as.”
Secara
istilah Syar’u man qablana merupakan ketentuan hukum Allah swt, yang
disyariatkan kepada umat sebelum umat Nabi Muhammad saw. Bagi umat islam,
mengikuti hukum-hukum tersebut merupakan suatu kewajiban selama tidak ada
dalil-dalil yang menghapusnya.
Secara
etimologis, syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah
swt, bagi umat-umat sebelum kita.
2. Kedudukan syar’un man qablana
13.
Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama[1340] dan
janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik
agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang
yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali
(kepada-Nya).
Oleh karena itu terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum
umat-umat yang sebelum kita (umat Islam) dengan datangnya syari‟at Islamiyah
dan sebagian lagi hukum-hukum umat yang terdahulu tetap berlaku, seperti qishash.
3. Macam-macam dan kehujjahan Syar’un man qablana
Syariat atau hukum yang berlaku dalam
agama samawi yang diturunkan Allah swt kepada para nabi sebelum Nabi Muhammad
saw. sering pula diceritakan dalam Alqur‟an dan al Sunnah kepada umat Islam.
Cerita tersebut dibedakan dalam tiga bentuk yang masing-masing mempunyai
konsekuensi yang berbeda bagi umat Islam:
a.
Disertai petunjuk tetap diakuinya dan lestarinya dalam syariat Islam.
b.
Disertai petunjuk tentang sudah dinasakhkannnya / dihapus dalam syariat Islam
c.
Tidak disertai petunjuk tentang nasakh atau lestarinya. Untuk ini ada dua
pendapat:
Pendapat pertama, bila hukum yang diterangkan Allah
dan Rasulnya bagi umat terdahulu, tidak ada nash yang menunjukan bahwa hal itu
diwajibkan bagi kita sebagai mana diwajibkan juga bagi mereka, atau tidak ada
nash bahwa hukum itu telah dihapuskan. Pendapat kedua menyatakan bahwa
syariat sebelum Islam tidak menjadi syariat bagi Rasulullah saw. dan umatnya.
Dengan perbedaan pendapat di atas, maka ada hal yang disepakati ulama :
1)
Hukum-hukum syara yang ditetapkan bagi umat sebelum kita, tidaklah dianggap ada
tanpa melalui sumber-sumber hukum Islam, karena dikalangan umat Islam nilai
sesuatu hukum didasarkan kepada sumber-sumber hukum Islam.
2)
Segala sesuatu hukum yang dihapuskan dengan syariat Islam, otomatis hukum tersebut
tidak bisa berlaku lagi bagi kita. Demikian juga hukum-hukum yang dikhususkan
bagi umat tertentu, tidak berlaku bagi umat Islam, seperti keharaman beberapa
makanan, misalnya daging bagi Bani Israil.
3)
Segala yang ditetapkan dengan nash yang dihargai oleh Islam seperti juga
ditetapkan oleh agama samawi yang telah lalu, tetap berlaku bagi umat Islam,
karena ketetapan nash Islam itu tadi bukan karena ditetapkannya bagi umat yang
telah lalu.
Sedangkan Muhammad Abu Zahrah menyatakan, apabila syariat sebelum
Islam itu dinyatakan dengan dalil khusus bahwa hukum-hukum itu khusus bagi
mereka, maka tidak wajib bagi umat Islam untuk mengikutinya. Namun apabila
hukum-hukum itu bersipat umum, maka hukumnya juga berlaku umum bagi seluruh
umat, seperti hukum qishash dan puasa yang ada dalam Alquran.
4. Sandaran syariat Nabi saw. sebelum diutus
Untuk ini Abdul Hamid Hakim mengutip perkataan Imam
Al-Syaukani, yang menyebutkan bahwa terdapat beberapa pendapat :
1.
Bahwa Rasulullah saw. beribadah dengan syariat
Nabi Adam as. karena syariat itu merupakan
yang
pertama.
2.
Bahwa Rasulullah saw. bersyariat kepada syariat
Nabi Nuh as.
3.
Bahwa Rasulullah saw. bersyariat kepada
syariatnya nabi Ibrahim as.
4.
Ada pula yang menyatakan Rasulullah beribadah
dengan syariat Nabi Musa as.
5.
Dan yang menyatakan Rasulullah bersyariat kepada
syariat Isa as. karena Nabi yang paling dekat dengan Rasulullah saw.
6.
Bahkan ada yang berpendapat, bahwa Rasulullah
saw. sebelum diutus tidak beribadah atas syariat, menurutnya, karena kalaulah
berada pada satu agama tentu Nabi menjelaskannya dan tidak menyembunyikannya.
Ibnu Qusyairi berkata, bahwa semua perkataan itu berlawanan dan tidak ada dalil
yang qath‟i.
Imam Al-Syaukani mengembalikan kepada perkataan yang
mengatakan bahwa Rasulullah saw. beribadah dengan syariat Nabi Ibrahiem as.
Menurutnya, karena Rasulullah sering mencari dari syariat Ibrahiem as., beramal
dengan apa yang sampai kepadanya dari syariat Ibrahiem, dan juga seperti yang
diketahui dari ayat Alqur‟an setelah beliau diutus untuk mengikuti Millah
Ibrahiem as.
B. MAZHAB SHAHABI
1. Pengertian
Ada pengertian yang menjelaskan tentang Mazhab Shahabi, yaitu:
“Yang dimaksud dengan Mazhab al-Shahaby (Mazdhab Shahaby) adalah
pendapat-pendapat para shahabat dalam masalah ijtihad.”
Dengan kata lain Mazhab
shahabi adalah pendapat para shahabat tentang suatu kasus yang dinukil para
ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, yang tidak dijelaskan dalam
ayat atau hadis.
Yang dimaksud dengan shahabat menurut ulama ushul fiqih adalah
seseorang yang bertemu dengan Rasulullah saw. beriman kepadanya, mengikuti
serta hidup bersamanya, dalam waktu yang panjang, serta dijadikan rujukan oleh
generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah saw.
2. Kehujahan Mazhab Shahaby
Pendapat shahabat tidak menjadi hujjah atas shahabat lainnya, hal
ini telah disepakati para ulama ushul. Namun yang masih diperselisihkan adalah
apakah pendapat shahabat bisa menjadi hujjah atas Tabi'in dan orang-orang yang
telah datang setelah tabi‟in. Ulama ushul memiliki tiga pendapat:
1.
Ada yang mengatakan bahwa mazhab
shahaby secara muthlaq tidak bisa dijadikan hujah
2.
Satu pendapat mengatakan bahwa
madzhab shahabat bisa jadi hujah.
3.
Pendapat lain menyatakan bahwa
pendapat shahabat itu jadi hujah, dan apabila pendapat shahabat bertentangan
dengan qiyas, maka pendapat shahabat didahulukan.
Ibnu Qayyim berkata, bahwa fatwa shahabat tidak keluar dari enam
bentuk:
1.
Fatwa yang didengar shahabat dari
Nabi saw.
2.
Fatwa yang didengar dari orang
yang mendengar dari Nabi saw.
3.
Fatwa yang didasarkan atas
pemahamannya terhadap Alqur‟an yang agak kabur dari ayat tersebut pemahamannya
bagi kita.
4.
Fatwa yang disepakati oleh tokoh-tokoh
shahabat yang sampai kepada kita melalui salah seorang shahabat.
5.
Fatwa yang didasarkan kepada
kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya
tentang keadaan Nabi saw. dan maksud-maksudnya. Kelima ini adalah hujah yang diikuti.
6.
Fatwa yang berdasarkan pemahaman
yang tidak datang dari Nabi dan salah pemahamannya. Maka ini tidak bisa jadi
hujah.
hawa Ustadz Ali Hasaballah merangkum pendapat-pendapat di atas,
bahwa seorang mujtahid tidak dibebaskan untuk mencari dalil dari pendapat
seorang shahabat, bila ia menemukannya tidak dibenarkan menyandarkannya pada
shahabat itu, akan tetapi bila tidak menemukannya, maka mengikutinya adalah
lebih baik ketimbang mengikuti pendapat yang berdasarkan nafsu.
B. SADDU DZARA’I
1. Pengertian bahasa
Kata artinya yaitu media, atau jalan. Dalam
bahasa syariat Dzariah berarti :
“apa yang menjadi media / jalan kepada yang
diharamkan atau yang dihalalkan”. Dan kata artinya mencegah atau menyumbat jalan.
Dengan kata lain, dzariah adalah washilah yang menyampaikan kepada
tujuan, atau jalan untuk sampai kepada yang diharamkam atau yang dihalalkan.
Jalan yang menyampaikan kepada haram hukumnya haram pula, dan jalan yang
menyampaikan kepada haram hukumnya haram pula, jalan kepada wajib, wajib pula.
Hukum washilah (jalan
yang menyampaikan kepada tujuan) sama dengan hukum tujuan. Definisi lain menyebutkan:
“Mencegah sesuatu yang
menjadi jalan kerusakan, atau menyumbat jalan yang dapat menyampaikan seseorang
pada kerusakan.”
2. Macam-macam Dzariah
Pada dasarnya yang menjadi dzariah adalah semua perbuatan ditinjau
dari segi akibatnya yang dapat dibagi pada empat macam:
1)
Dzariah yang akibatnya menimbulkan
kerusakan atau bahaya secara pasti.
2)
Dzariah yang jarang berakibat kerusakan
atau bahaya.
3)
Dzariah yang menurut dugaan kuat
akan menimbulkan bahaya; tidak diyakini dan tidak pula dianggap jarang. Dalam
keadaan ini dugaan kuat disamakan dengan yakin karena menutup jalan adalah
wajib sebagai ikhtiar untuk berhati-hati terhadap terjadinya kerusakan.
4)
Dzariah yang lebih banyak
menimbulkan kerusakan, tetapi belum mencapai tujuan kuat timbulnya kerusakan
itu.
3. Kehujahan Saddu Dzara’i
Seperti biasa, para ulama berbeda pendapat mengenai
kehujjahanpenggunaan Saddu dzariah dalam menentukan suatu hukum
perbuatan.Berdasarkan dalil seperti yang tersebut diatas, ulama malikiyah
menerima kehujjahan saddu dzariah.Berseberangan dengan rekannya, ulama-ulama
hanafiyah, syafi’iyah, dan syi’ah dapat menerima Saddu dzariah dalam
masalah-masalah tertentu saja.
Imam Syafii
menerima Saddu Dzariah apabila dalam keadaan uzur.Sedangkan ulama hanafiyah dan
syafiiyah menerima Saddu Dzariah apabila kemudharatan akan benar-benar muncul
atau akan terjadi
4.Fathudzzara’I
Secara terminologis, bisa dipahami
bahwa fath adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum atas suatu perbuatan
tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan, baik dalam bentuk membolehkan (ibahah), menganjurkan (istihab) maupun
mewajibkan (ijab) karena perbuatan tersebut bisa menjadi sarana
terjadinya perbuatan lain yang memang telah dianjurkan atau diperintahkan.
Contoh dari fath
adz-dzari’ah adalah bahwa jika mengerjakan shalat Jum’at adalah wajib,
maka wajib pula berusaha untuk sampai ke masjid dan meninggalkan perbuatan lain
0 komentar:
Posting Komentar