Pages

http://ariefmuliadi30.blogspot.com/. Diberdayakan oleh Blogger.

Minggu, 17 Juni 2012

MAKALAH SYARR’U MANQABLANA, SADUZZARAI’ DAN MAZHAB SAHABI


A. SYAR’U MAN QABLANA
1. Pengertian
Ada pengertian yang menjelaskan tentang syar‟un man qablana, yaitu:
 “Segala apa yang dinukilkan kepada kita dari hukum-hukum syara‟ yang telah disyaratkan Allah swt. bagi umat-umat dahulu melalui nabi-nabinya yang diutus kepada umat itu seperti Nabi Ibrahiem, Nabi Musa, dan Nabi Isya as.”
                Secara istilah Syar’u man qablana merupakan ketentuan hukum Allah swt, yang disyariatkan kepada umat sebelum umat Nabi Muhammad saw. Bagi umat islam, mengikuti hukum-hukum tersebut merupakan suatu kewajiban selama tidak ada dalil-dalil yang menghapusnya.
                Secara etimologis, syar’u man qablana adalah hukum-hukum yang disyariatkan oleh Allah swt, bagi umat-umat sebelum kita.

2. Kedudukan syar’un man qablana


13. Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa Yaitu: Tegakkanlah agama[1340] dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-Nya dan memberi petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-Nya).
Oleh karena itu terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat yang sebelum kita (umat Islam) dengan datangnya syari‟at Islamiyah dan sebagian lagi hukum-hukum umat yang terdahulu tetap berlaku, seperti qishash.

3. Macam-macam dan kehujjahan Syar’un man qablana

Syariat atau hukum yang berlaku dalam agama samawi yang diturunkan Allah swt kepada para nabi sebelum Nabi Muhammad saw. sering pula diceritakan dalam Alqur‟an dan al Sunnah kepada umat Islam. Cerita tersebut dibedakan dalam tiga bentuk yang masing-masing mempunyai konsekuensi yang berbeda bagi umat Islam:
a. Disertai petunjuk tetap diakuinya dan lestarinya dalam syariat Islam.
b. Disertai petunjuk tentang sudah dinasakhkannnya / dihapus dalam syariat Islam
c. Tidak disertai petunjuk tentang nasakh atau lestarinya. Untuk ini ada dua pendapat:
Pendapat pertama, bila hukum yang diterangkan Allah dan Rasulnya bagi umat terdahulu, tidak ada nash yang menunjukan bahwa hal itu diwajibkan bagi kita sebagai mana diwajibkan juga bagi mereka, atau tidak ada nash bahwa hukum itu telah dihapuskan. Pendapat kedua menyatakan bahwa syariat sebelum Islam tidak menjadi syariat bagi Rasulullah saw. dan umatnya. Dengan perbedaan pendapat di atas, maka ada hal yang disepakati ulama :
1) Hukum-hukum syara yang ditetapkan bagi umat sebelum kita, tidaklah dianggap ada tanpa melalui sumber-sumber hukum Islam, karena dikalangan umat Islam nilai sesuatu hukum didasarkan kepada sumber-sumber hukum Islam.
2) Segala sesuatu hukum yang dihapuskan dengan syariat Islam, otomatis hukum tersebut tidak bisa berlaku lagi bagi kita. Demikian juga hukum-hukum yang dikhususkan bagi umat tertentu, tidak berlaku bagi umat Islam, seperti keharaman beberapa makanan, misalnya daging bagi Bani Israil.
3) Segala yang ditetapkan dengan nash yang dihargai oleh Islam seperti juga ditetapkan oleh agama samawi yang telah lalu, tetap berlaku bagi umat Islam, karena ketetapan nash Islam itu tadi bukan karena ditetapkannya bagi umat yang telah lalu.
Sedangkan Muhammad Abu Zahrah menyatakan, apabila syariat sebelum Islam itu dinyatakan dengan dalil khusus bahwa hukum-hukum itu khusus bagi mereka, maka tidak wajib bagi umat Islam untuk mengikutinya. Namun apabila hukum-hukum itu bersipat umum, maka hukumnya juga berlaku umum bagi seluruh umat, seperti hukum qishash dan puasa yang ada dalam Alquran.
4. Sandaran syariat Nabi saw. sebelum diutus
Untuk ini Abdul Hamid Hakim mengutip perkataan Imam Al-Syaukani, yang menyebutkan bahwa terdapat beberapa pendapat :
1.       Bahwa Rasulullah saw. beribadah dengan syariat Nabi Adam as. karena syariat itu merupakan                                                                    yang pertama.
2.       Bahwa Rasulullah saw. bersyariat kepada syariat Nabi Nuh as.
3.       Bahwa Rasulullah saw. bersyariat kepada syariatnya nabi Ibrahim as.
4.       Ada pula yang menyatakan Rasulullah beribadah dengan syariat Nabi Musa as.
5.       Dan yang menyatakan Rasulullah bersyariat kepada syariat Isa as. karena Nabi yang paling dekat dengan Rasulullah saw.
6.       Bahkan ada yang berpendapat, bahwa Rasulullah saw. sebelum diutus tidak beribadah atas syariat, menurutnya, karena kalaulah berada pada satu agama tentu Nabi menjelaskannya dan tidak menyembunyikannya. Ibnu Qusyairi berkata, bahwa semua perkataan itu berlawanan dan tidak ada dalil yang qath‟i.
Imam Al-Syaukani mengembalikan kepada perkataan yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. beribadah dengan syariat Nabi Ibrahiem as. Menurutnya, karena Rasulullah sering mencari dari syariat Ibrahiem as., beramal dengan apa yang sampai kepadanya dari syariat Ibrahiem, dan juga seperti yang diketahui dari ayat Alqur‟an setelah beliau diutus untuk mengikuti Millah Ibrahiem as.

B. MAZHAB SHAHABI
1. Pengertian
Ada pengertian yang menjelaskan tentang Mazhab Shahabi, yaitu:

“Yang dimaksud dengan Mazhab al-Shahaby (Mazdhab Shahaby) adalah pendapat-pendapat para shahabat dalam masalah ijtihad.”
 Dengan kata lain Mazhab shahabi adalah pendapat para shahabat tentang suatu kasus yang dinukil para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, yang tidak dijelaskan dalam ayat atau hadis.
Yang dimaksud dengan shahabat menurut ulama ushul fiqih adalah seseorang yang bertemu dengan Rasulullah saw. beriman kepadanya, mengikuti serta hidup bersamanya, dalam waktu yang panjang, serta dijadikan rujukan oleh generasi sesudahnya dan mempunyai hubungan khusus dengan Rasulullah saw.
2. Kehujahan Mazhab Shahaby
Pendapat shahabat tidak menjadi hujjah atas shahabat lainnya, hal ini telah disepakati para ulama ushul. Namun yang masih diperselisihkan adalah apakah pendapat shahabat bisa menjadi hujjah atas Tabi'in dan orang-orang yang telah datang setelah tabi‟in. Ulama ushul memiliki tiga pendapat:
1.       Ada yang mengatakan bahwa mazhab shahaby secara muthlaq tidak bisa dijadikan hujah
2.       Satu pendapat mengatakan bahwa madzhab shahabat bisa jadi hujah.
3.       Pendapat lain menyatakan bahwa pendapat shahabat itu jadi hujah, dan apabila pendapat shahabat bertentangan dengan qiyas, maka pendapat shahabat didahulukan.
Ibnu Qayyim berkata, bahwa fatwa shahabat tidak keluar dari enam bentuk:
1.       Fatwa yang didengar shahabat dari Nabi saw.
2.       Fatwa yang didengar dari orang yang mendengar dari Nabi saw.
3.       Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Alqur‟an yang agak kabur dari ayat tersebut pemahamannya bagi kita.
4.       Fatwa yang disepakati oleh tokoh-tokoh shahabat yang sampai kepada kita melalui salah seorang shahabat.
5.       Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi saw. dan maksud-maksudnya. Kelima ini adalah hujah yang diikuti.
6.       Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan salah pemahamannya. Maka ini tidak bisa jadi hujah.
hawa Ustadz Ali Hasaballah merangkum pendapat-pendapat di atas, bahwa seorang mujtahid tidak dibebaskan untuk mencari dalil dari pendapat seorang shahabat, bila ia menemukannya tidak dibenarkan menyandarkannya pada shahabat itu, akan tetapi bila tidak menemukannya, maka mengikutinya adalah lebih baik ketimbang mengikuti pendapat yang berdasarkan nafsu.
B. SADDU DZARA’I
1. Pengertian bahasa

Kata artinya yaitu media, atau jalan. Dalam bahasa syariat Dzariah berarti :
 “apa yang menjadi media / jalan kepada yang diharamkan atau yang dihalalkan”. Dan kata artinya mencegah atau menyumbat jalan.
Dengan kata lain, dzariah adalah washilah yang menyampaikan kepada tujuan, atau jalan untuk sampai kepada yang diharamkam atau yang dihalalkan. Jalan yang menyampaikan kepada haram hukumnya haram pula, dan jalan yang menyampaikan kepada haram hukumnya haram pula, jalan kepada wajib, wajib pula.
 Hukum washilah (jalan yang menyampaikan kepada tujuan) sama dengan hukum tujuan.  Definisi lain menyebutkan:
 “Mencegah sesuatu yang menjadi jalan kerusakan, atau menyumbat jalan yang dapat menyampaikan seseorang pada kerusakan.”
2. Macam-macam Dzariah

Pada dasarnya yang menjadi dzariah adalah semua perbuatan ditinjau dari segi akibatnya yang dapat dibagi pada empat macam:
1)      Dzariah yang akibatnya menimbulkan kerusakan atau bahaya secara pasti.
2)      Dzariah yang jarang berakibat kerusakan atau bahaya.
3)      Dzariah yang menurut dugaan kuat akan menimbulkan bahaya; tidak diyakini dan tidak pula dianggap jarang. Dalam keadaan ini dugaan kuat disamakan dengan yakin karena menutup jalan adalah wajib sebagai ikhtiar untuk berhati-hati terhadap terjadinya kerusakan.
4)      Dzariah yang lebih banyak menimbulkan kerusakan, tetapi belum mencapai tujuan kuat timbulnya kerusakan itu.

3. Kehujahan Saddu Dzara’i

Seperti biasa, para ulama berbeda pendapat mengenai kehujjahanpenggunaan Saddu dzariah dalam menentukan suatu hukum perbuatan.Berdasarkan dalil seperti yang tersebut diatas, ulama malikiyah menerima kehujjahan saddu dzariah.Berseberangan dengan rekannya, ulama-ulama hanafiyah, syafi’iyah, dan syi’ah dapat menerima Saddu dzariah dalam masalah-masalah tertentu saja.
                Imam Syafii menerima Saddu Dzariah apabila dalam keadaan uzur.Sedangkan ulama hanafiyah dan syafiiyah menerima Saddu Dzariah apabila kemudharatan akan benar-benar muncul atau akan terjadi

4.Fathudzzara’I

                Secara terminologis, bisa dipahami bahwa fath adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan, baik dalam bentuk membolehkan (ibahah), menganjurkan (istihab) maupun mewajibkan (ijab) karena perbuatan tersebut bisa menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang memang telah dianjurkan atau diperintahkan.
                Contoh dari fath adz-dzari’ah adalah bahwa jika mengerjakan shalat Jum’at adalah wajib, maka wajib pula berusaha untuk sampai ke masjid dan meninggalkan perbuatan lain



0 komentar:

Posting Komentar