KARANGAN
ILMIAH
BAHASA
INDONESIA
GERAKAN
FUNDAMENTALISME & RADIKALISME ISLAM
Diajukan Guna Memenuhi
Tugas Mata Kuliah
Bahasa Indonesia
Dosen
pengampu :
Darmanto
S.S.,M.M
Disusun
Oleh :
Muhammad
Arif Muliadi
11140033
ISLAMIC
BANKING SCHOOL
SEKOLAH
TINGGI EKONOMI ISLAM
YOGYAKARTA
2012
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Munculnya isu-isu politis mengenai fundamentalisme dan radikalisme
Islam merupakan tantangan baru bagi umat Islam untuk menjawabnya. Isu ini
sebenarnya sudah lama mencuat di permukaan wacana internasional. Radikalisme
Islam sebagai fenomena historis-sosiologis merupakan masalah yang banyak
dibicarakan dalam wacana politik dan peradaban global akibat kekuatan media
yang memiliki potensi besar dalam menciptakan persepsi masyarakat dunia. Banyak
label-label yang diberikan oleh kalangan Eropa Barat dan Amerika Serikat untuk
menyebut gerakan Islam radikal, dari sebutan kelompok garis keras, ekstrimis,
militan, Islam kanan, fundamentalisme sampai terrorisme.
Bahkan di negara-negara Barat pasca hancurnya ideologi
komunisme (pasca perang dingin) memandang Islam sebagai sebuah gerakan dari
peradaban yang menakutkan. Tidak ada gejolak politik yang lebih ditakuti
melebihi bangkitnya gerakan Islam yang diberinya label sebagai radikalisme
Islam. Tuduhan-tuduhan dan propaganda Barat atas Islam sebagai agama yang
menopang gerakan radikalisme telah menjadi retorika internasional.
Label radikalisme bagi gerakan Islam yang menentang Barat
dan sekutu-sekutunya dengan sengaja dijadikan komoditi politik. Gerakan
perlawanan rakyat Palestina, Revolusi Islam Iran, Partai FIS AlJazair, perilaku
anti-AS yang dipertunjukkan Mu’ammar Ghadafi ataupun Saddam Hussein, gerakan
Islam di Mindanao Selatan, gerakan masyarakat Muslim Sudan yang anti-AS,
merebaknya solidaritas Muslim Indonesia terhadap saudara-saudara yang tertindas
dan sebagainya, adalah fenomena yang dijadikan media Barat dalam mengkampanyekan
label radikalisme Islam.
Dalam perspektif Barat, gerakan Islam sudah menjdi fenomena
yang perlu dicurigai. Terlebih-lebih pasca hancurnya gedung WTC New York yang
dituduhkan dilakukan oleh kelompok Islam garis keras (Al-Qaeda dan Taliban)
semakin menjadikan term radikalisme Islam menjadi wacana yang lebih menglobal
yang berimplikasi pada sikap kecurigaan masyarakat dunia, terutama bangsa Barat
dan Amerika Serikat terhadap gerakan Islam. Hal yang demikian terjadi karena
orang-orang Eropa Barat dan Amerika Serikat berhasil dalam melibatkan dan
mewarnai media sehingga mampu membentuk opini publik.
Dalam hal-hal diatas, penulis mencoba menjabarkan lebih luas
tentang fundamentalisme Islam yang notabene disinyalir sebagai awal dari
gerakan radikalisme Islam di seluruh dunia. Dan memang tidak dapat dipungkiri
bahwa pemikiran fundamentalisme yang ada pada setiap individu yang meyakininya
berpotensi menciptakan gerakan radikalisme akibat dari sesuatu yang mereka
anggap dholim bertebaran di seluruh permukaan bumi dan upaya mengembalikan
keadaan tersebut sebagaimana yang telah Allah perintahkan kepada setiap
hamba-Nya.
Akan tetapi apa yang perlu dilihat adalah bahwa Islam
sebagai agama sangat menjunjung tinggi perdamaian. Hal ini bukan saja ada dalam
normatifitas teks wahyu dan sunnah tetapi termanifestasi dalam sejarah Islam
awal. Islam secara normatif dan historis (era Nabi) sama sekali tidak pernah
mengajarkan praktek radikalisme sebagaimana terminologi di Barat. Islam tidak
memiliki keterkaitan dengan gerakan radikal, bahkan tidak ada pesan moral Islam
yang menunjuk kepada ajaran radikalisme baik dari sisi normatif maupun historis
kenabian.
B.
TUJUAN
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
a. Mengetahui
asal usul dari pengistilahan Fundamentalisme dan Radikalisme
b. Memahami
pengertian aliran fundamentalisme dan radikalisme Islam
c. Mengetahui
asal usul aliran Fundamentalisme Islam beserta contohnya.
d. Memahami
pendapat Abu l-A’la Mawdudi tentang doktrin jihad..
C.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan tujuan dari penulisan makalah ini, maka rumusan
masalahnya adalah :
a. Bagaimanakah
asal usul dari istilah Fundamentalisme dan Radikalisme?
b. Apakah
pengertian dari Fundamentalisme Islam dan Radikalisme Islam?
c. Bagaimanakah
asal usul dari aliran Fundamentalisme Islam?
d. Apakah
contoh kasus dari gerakan Fundamentalisme Islam?
e. Bagaimanakah
Doktrin Jihad menurut Abu L-A’la Mawdudi?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN
FUNDAMENTALISME
Musa Keilani mendefinisikan fundamentalisme sebagai gerakan
sosial dan keagamaan yang mengajak umat Islam kembali kepada “prinsip-prinsip
Islam yang fundamental, kembali kepada kemurnian etika dengan cara
mengintegrasikan secara positif (dengan doktrin agama), kembali kepada keseimbangan
hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan masyarakat, dan manusia
dengan kepribadiannya sendiri”.
Definisi seperti disebut diatas banyak dikemukakan oleh
banyak sarjana lainnya. Jan hjarpe misalnya, mengartikan fundamentalisme
sebagai “keyakinan kepada al-Qur’an dan Sunnah sebagai dua sumber otoritatif
yang mengandung norma-norma politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan, untuk
menciptakan masyarakat baru”. Kemudian pengertian yang hampir sama tetapi
dengan penambahan kalimat “romantisme ke zaman lampau” dikemukakan oleh Leonard
Binder yang meyakini bahwa doktrin Islam adalah lengkap. Sempurna, dan mencakup
segala macam persoalan, hukum Tuhan diyakini telah “mengatur seluruh alam
semesta” tanpa ada masalah-masalah yang luput dari perhatiannya.
Kemudian pengertian fundamentalisme dengan menekankan unsur rigid
dan literalis dikemukakan oleh Allan Taylor, Patrick Bannerman, Daniel Pipes,
Bassam Tibi, dan Bruce Lawrence. Menurut Taylor, kaum findamentalisme adalah
kelompok yang melakukan pendekatan konservatif dalam melakukan reformasi
keagamaan, bercorak literalis, dan menekankan pada pemurnian doktrin. Bagi
Bannerman, kaum fundamentalisme adalah kelompok ortodoks yang bercorak rigid
dan ta’ashub (fanatik) yang bercita-cita untuk menegakkan konsep-konsep
keagamaan dari abad ke tujuh masehi, yaitu doktrin Islam dari zaman klasik.
Bagi Daniel Pipes, kaum fundamentalis adalah kelompok yang
berkeyakinan bahwa syariah adalah peraturan-peraturan yang kekal dan abadi
sepanjang zaman tanpa perlu ditafsirkan ulang untuk menyesuaikannya dengan
perkembangan zaman. Dan Bassam Tibi mengartikan kaum fundamentalis dengan
ungkapan yang lebih tegas, yaitu aliran keagamaan yang menolak segala hal baru
selain yang telah ada dalam doktrin. Tetapi Bruce Lawrence, lebih menekankan
definisi fundamentalis pada penegasan otoritas keagamaan sebagai holistik dan
mutlak, tanpa memberikan penghargaan kepada kritisisme ataupun pemikiran
reduktif. Sarjana ini juga menegaskan tentang sosiologis fundamentalisme yaitu
tuntunan agar keyakinan dan nilai-nilai etika yang diajarkan oleh agama
diterima oleh masyarakat dan secara legal wajib dilaksanakan.
B.
ASAL USUL ALIRAN
FUNDAMENTALISME ISLAM
Berdasarkan keterangan sebelumnya mengenai asal usul
istilah, menurut Fazlur Rahman, keberadaan aliran fundamentalisme diilhami oleh
munculnya modernisme Islam dan sekularisme, atau dengan kata lain merupakan
reaksi terhadap pengaruh barat, sekularisme dan modernisme Islam. Menurut
Fazlur Rahman lagi, akar intelektual kaum fundamentalis, berasal dari
gagasan-gagasan reformisme pra-modern, terutama paham reformis kaum wahhabi di
Arab Saudi. Kelompok wahhabi memang dikenal bersikap rigid dalam
menafsirkan al-Qur’an dan Sunnah. Merekapun cenderung bersikap “keras” terhadap
pandangan-pandangan yang berseberangan dengan ortodoksi. Sikap “keras” terutama
bila menyangkut persoalan-persoalan yang mereka anggap sebagai syirk
(menyekutukan Tuhan) dan khurafat (dongeng) di bidang akidah serta bid’ah
(masalah yang diada-adakan dalam ibadah).
Sedangkan Nurcholish Majid lebih cenderung memandang gejala munculnya
fundamentalisme karena faktor kegagalan agama-agama yang terorganisasi
memberikan respons terhadap tantangan dunia modern. Akibatnya, sekelompok orang
mencari alternatif-alternatif baru dalam beragama dengan menunjukkan seikap
penegasan diri yang lebih keras, dan biasanya dipimpin oleh seorang tokoh yang
dikultuskan oleh pengikut-pengikutnya. Selain daripada itu, Nurcholish Majid
juga sependapat dengan Stephen Humpeys yang menganggap bahwa faktor-faktor
sosial dan politik turut memberikan peran. Misalnya, adanya jurang pemisah antara
golongan kaya dan miskin, dan perasaan tidak berdaya dengan adanya tekanan dan
penindasan.
Kemudian menurut Hrair Dekmejian yang menyatakan bahwa asal
usul fundamentalisme dapat diketahui dengan analisis empat dimensi, yaitu
faktor-faktor sosial, politik, psikologi dan sejarah. Faktor sosial dan politik
antara lain krisis akibat pengaruh asing, krisis legitimasi, konflik kelas, dan
modernisasi yang dilakukan secara tiba-tiba sehingga mengakibatkan adanya
krisis kebudayaan. Faktor-faktor psikologi berupa alienasi, sikap dogmatik, dan
ketidakdewasaan memahami dan menerima ajaran agama, perasaan rendah diri yang
akhirnya berubah menjadi superior dan agresif, serta ketaatan mutlak kepada
Tuhan dan pemimpin pergerakan yang karismatik. Sedangkan faktor sejarah berupa
usaha menghubungkan fundamentalisme Islam kini dengan gerakan-gerakan serupa
yang sama yang terjadi di sejarah Islam pada masa lampau. Sebagai “ideologi
protes dan kaum oposisi”, fundamentalisme muncul sebagai perlawanan terhadap
kelas yang berkuasa yang dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam. Seperti,
munculnya gerakan khawarij yang menentang kekhalifahan ali bin abi thalib,
kemunculan syiah yang menentang bani umayyah dll.
Sedangkan pendapat terakhir dari Hamid Enayat dalam bukunya
“Modern Islamic Political Thought” dan Ali E. Hillal Dessouki dalam
bukunya “The Resurgence of Islamic Organisations in Egypt” yang secara
prinsip mirip dengan pendapat Hrair Dekmejian tetapi berbeda dalam
perinciaannya. Keduanya menyusun daftar empat faktor utama yang mempengaruhi
munculnya fundamentalisme, yaitu faktor-faktor budaya, sejarah, sosial dan
politik. Faktor budaya adalah kegagalan kaum tradisionalis memberikan respons
terhadap sekularisme dan kegagalan kaum intelektual modernis merumuskan
sintesis antara Islam dengan modernitas. Kemudian faktor lain seperti sikap
agresif dari elit politik barat, kemunduran ideologi sekular-liberal, krisis
berkepanjangan di Palestina, instabilitas politik di dunia Arab, keruntuhan
moral dan ketidakadilan sosial-ekonomi serta faktor sejarah seperti kebangkitan
pemurnian agama yang dilakukan oleh tokoh reformis seperti Muhammad ibn ‘Abdul
Wahab dan tokoh-tokoh modernitas seperti Afghani dan Abduh.
C.
CONTOH ALIRAN
FUNDAMENTALISME ISLAM
Kasus yang akan kami angkat dalam makalah ini adalah salah
satu partai politik muslim di India sebelum terpecah menjadi dua negara, yaitu
India dan Pakistan. Partai yang didirikan pada 21 Agustus 1941 tersebut dinamai
Jama’at-i-islami yang dimotori oleh seorang mubaligh, wartawan, dan penulis risalah-risalah
agama yang ahli berbahasa baik Inggris maupun Urdu bernama Sayyid Abu ‘l-A’la
Mawdudi.
Inisiatif pembentukan partai ini sama dengan motif
pembentukan partai fundamentalisme lainnya yaitu merupakan reaksi terhadap
pergerakan sosial dan politik yang didominasi oleh kaum sekuler maupun kaum
modernis. Sebagai reaksi dari kaum modernis, kaum fundamentalis cenderung untuk
berusaha menonjolkan perbedaannya dengan sesama partai Islam yang telah ada.
Kecaman utamanya adalah partai-partai Islam lainnya “tidak Islami” dan
cenderung berfikiran sekular dan modern, sementara partai fundamentalisme
mendakwakan dirinya “benar-benar bersifat Islami”.
Di awal pembentukannya, partai itu bersaing dengan Indian
Liga Muslim, karena perbedaan persepsinya tentang penyelesaian masalah etnis
Hindu-Islam di India. Dalam hal ini Jama’at-i-islami tidak menyetujui karena
perbedaan ideologi atas gagasan dari Indian Liga Muslim untuk membagi India
menjadi dua bagian, India bagi mayoritas Hindu dan Pakistan bagi mayoritas Islam.
Tetapi tidak berarti bahwa Jama’at-i-islami setuju dengan pendapat Indian
Kongres yang didukung mayoritas Hindu untuk menjaga kesatuannya tetapi menjadi
negara yang Sekuler. Dan akhirnya Jama’at-i-islami tetap ikut berhijrah ke
Pakistan ketika India dipisahkan menjadi dua negara guna menjaga eksistensinya
sebagai partai fundamentalis.
Meskipun Jama’at-i-islami tidak pernah memegang kekuasaan
pemerintahan ataupun berkoalisi dengan partai manapun untuk mencapai kekuasaan
tapi Jama’at-i-islami dianggap sebagai partai fundamentalis yang paling
berpengaruh dibandingkan dengan partai fundamentalis lainnya di dunia.
Jama’at-i-islami telah memainkan peran sebagai kelompok yang sangat gencar
bergerak guna mempengaruhi keputusan-keputusan politik di Pakistan, terutama
untuk menjadikan negara tersebut sebagai “negara Islam”.
Partai Jama’at-i-islami ini juga termasuk partai yang aktif
dalam menyebarkan ideologinya ke seluruh dunia yang mampu memberikan ilham
kepada kelompok-kelompok fundamentalis di negara lain seperti ikhwanul muslimin
di Mesir, Partai Islam Se-Malaysia (PAS) dan juga berbagai gerakan-gerakan
fundamentalis lainnya termasuk Afganistan, Iran dan Indonesia.
Pandangan dasar dari partai fundamentalis Jama’at-i-islami
mengenai sifat pengaturan doktrin, pembatasan ijtihad, pendangan yang
pesimistik terhadap pluralisme, dan keengganannya untuk berkompromi dengan
pihak-pihak lain merupakan ruh yang disodorkan oleh Abu ‘l-A’la Mawdudi kepada
para pengikutnya guna menjadi muslim yang benar-benar beriman dan bertaqwa
sebagai manifestasi dari penafsiran literal terhadap doktrin dan tradisi awal
Islam yang dipercayai telah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Sesuai dengan penafsiran terhadap doktrin, rumusan tujuan
partai Jama’at-i-islami telah menunjukkan idealisme yang tinggi. Tujuan yang
seolah tiada batas karena bermaksud “menegakkan kedaulatan Tuhan di muka bumi
dan menegakkan Islam sebagai jalan hidup bagi seluruh manusia”. Sesuai dengan
tujuan tersebut, awalnya kaum fundamentalis membantah gagasan nasionalisme
karena dianggap bertentangan secara fundamental dengan doktrin, tetapi
keputusan tersebut juga menimbulkan dilema tersendiri.
Hal tersebut terkait dengan semakin dekatnya orientasi
partai Jama’at-i-islami kepada kekuasaan, semakin cenderung pula
Jama’at-i-islami melonggarkan pandangan-pandangan dasarnya yang rigid ke
arah pragmatis. Keadaan tersebut juga menunjukkan bahwa segala bentuk aliran melakukan
aktivitasnya berdasarkan rasionalitasnya masing-masing sesuai dengan
aktor-aktornya masing-masing.
D.
PENGERTIAN
RADIKALISME ISLAM
Istilah radikalisme berasal dari bahasa latin “radic”,
yang artinya akar, pangkal dan bagian bawah, atau bisa juga secara menyeluruh,
habis-habisan dan amat keras untuk menuntut perubahan. sedangkan secara
terminologi menurut kamus Bahasa Indonesia, Radikalisme adalah aliran atau
faham yang radikal terhadap tatanan politik; paham atau aliran yang menuntut
perubahan sosial dan politik dalam suatu negara secara keras.
Radikalisme keagamaan sebenarnya fenomena yang biasa muncul
dalam agama apa saja. Radikalisme juga sangat berkaitan erat dengan
fundamentalisme, yang ditandai oleh kembalinya masyarakat kepada dasar-dasar
agama. Fundamentalisme adalah semacam Ideologi yang menjadikan agama sebagai
pegangan hidup oleh masyarakat maupun individu seperti yang telah dipaparkan
dalam pembahasan sebelumnya. Biasanya fundamentalisme akan diiringi oleh
radikalisme dan kekerasan ketika kebebasan untuk kembali kepada agama tadi
dihalangi oleh situasi sosial politik yang mengelilingi masyarakat.
Dawisha juga memberikan definisi tentang radikalisme sebagai
sikap jiwa yang membawa kepada tindakan-tindakan yang bertujuan melemahkan dan
mengubah tatanan politik mapan –dan biasanya dengan cara kekerasan- dan
menggantinya dengan sistem baru. Lebih rinci lagi, istilah radikal mengacu
kepada gagasan dan tindakan kelompok yang bergerak untuk menumbangkan tatanan
politik mapan; negara-negara atau rezim-rezim yang bertujuan melemahkan otoritas
politik dan legitimasi negara-negara dan rezim-rezim lain. Istilah radikalisme,
secara intrinsik berkaitan dengan konsep tentang perubahan politik dan sosial
pada berbagai tingkatan.
E.
DOKTRIN JIHAD
MENURUT ABU L-A’LA MAWDUDI
Akar kata jihad yaitu jahada yang berarti mngerahkan
upaya atau berusaha. Maka secara literer kata jihad berarti berjuang
keras dan secara tepat melukiskan usaha maksimal yang dilakukan seseorang untuk
melawan sesuatu yang keliru. Dalam al-Qur’an kata jihad –baik sebagai
kata kerja maupun kata benda- sering diikuti oleh frase fii sabilillah (di
jalan Allah). Orang yang beriman diperintahkan berjuang dengan harta dan diri
mereka karena Allah dan orang yang berjuang di jalan Allah disebut sebagai
mujahid.
Sedangkan kalimat jihad memiliki dua dimensi, yaitu
yang dilakukan dalam batin (memerangi hawa nafsu), dan melawan musuh yang di
luar diri. Dan jihad melawan hawa nafsu adalah jihad akbar,
Seperti yang telah dijelaskan dalam sebuah hadist Nabi SAW, “Musuh terbesar
bagimu adalah hawa nafsumu, yang menekanmu dari dua sisi”. Sedangkan yang kedua
diartikan sebagai perjuangan bersenjata melawan orang-orang kafir yang agresif
dan bermusuhan terhadap kaum muslim. Pada intinya, jihad ditujukan untuk
menyucikan hati setiap individu muslim dan tatanan sosial agar sejalan dengan
syariah.
Asal dari pemikiran Mawdudi tentang jihad adalah
adanya pernyataan dari orang barat yang menyatakan jihad sebagai perang
suci yang akhirnya dijadikan sinonim atas perang yang dilandasi fanatisme
keagamaan. Alasan lainnya adalah menjawab serta menyangkal pernyataan yang
dilontarkan oleh Mahatma Gandhi bahwa “Islam lahir dari atmosfir yang kekuatan
terpentingnya sejak dulu hingga sekarang adalah pedang”.
Konsep Mawdudi mengenai jihad banyak bersumber dari
teori-teori klasik. Baginya, jihad terutama dipahami sebagai revolusi
untuk membawa dunia ke arah yang sesuai dengan cita-cita Islam. Ia menentang
penggunaan jihad untuk memaksa kaum kafir yang memeluk Islam. Jihad
sebagai revolusi Islam harus dilakukan dengan damai melalui proses bertahap
yang pada akhirnya akan mengarah pada terwujudnya Dar al-Islam yang Universal.
Di atas semua itu, tujuan jihad dalam pandangan Mawdudi
adalah transformasi total seluruh masyarakat dalam proses revolusi Islam.
Tujuannya adalah untuk menciptakan perubahan menyeluruh dalam mentalitas
masyarakat dan perilaku sosial mereka. Karena Mawdudi sadar akan pentingnya
kehidupan sosial, ia menyatakan bahwa setiap perubahan adalah artifisual dan
palsu jika hal itu menghasilkan perubahan mendasar dalam norma-norma hidup
konvensional.
Dan Mawdudi juga menambahkan bahwa terdapat tiga persyaratan
yang harus dipenuhi bagi jihad yang sifatnya defensif, yaitu:
a. Tirani.
Dalam hal ini beliau mengumukakan bahwa Islam memberikan
dukungan penuh bagi setiap muslim untuk berjihad melawan segala bentuk
tirani. Seperti yang telah termaktub dalam al-Qur’an surat Al-Hajj ayat 39
tbÏé& tûïÏ%©#Ï9 cqè=tG»s)ã öNßg¯Rr'Î/ (#qßJÎ=àß 4
¨bÎ)ur ©!$# 4n?tã óOÏdÎóÇtR íÏs)s9 ÇÌÒÈ
“telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang
diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. dan Sesungguhnya Allah,
benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu” (Al-Hajj: 39)
Dari ayat tersebut, jihad dapt dilakukan jika kaum
muslim berada dalam kekuasaan tiran, dirampas harta bendanya, tidak memperoleh
keadilan akibat dari keislamannya ataupun karena menolak untuk menyembah selain
Allah.
b. Menjaga
kebenaran
Maksud Mawdudi dengan menjaga kebenaran adalah keadaan
ketika kaum kafir menghalangi syiar Islam guna menegakkan agama Allah di dunia.
Dan beliau juga menisbahkan syarat ini pada negara non-muslim yang melakukan
kekerasan kepada masyarakatnya yang beragama Islam.
c. Pelanggaran
perjanjian
Mawdudi
menjelaskan bahwa seandainya kaum non-muslim tidak melakukan pelanggaran
terhadap perjanjian yang dibuat dengan kaum muslim maka terlarang bagi kaum
muslim untuk melakukan jihad melawan mereka. Penyataan ini beliau
simpulkan dari ayat Qur’an surat Al-Anfaal ayat 56-58
úïÏ%©!$# £Nyg»tã öNåk÷]ÏB §NèO cqàÒà)Zt öNèdyôgtã Îû Èe@à2 ;o§sD öNèdur w
cqà)Ft ÇÎÏÈ $¨BÎ*sù öNåk¨]xÿs)÷Ws? Îû É>öysø9$# ÷Îh|³sù OÎgÎ/ ô`¨B öNßgxÿù=yz óOßg¯=yès9 crã2¤t ÇÎÐÈ $¨BÎ)ur Æsù$srB `ÏB BQöqs% ZptR$uÅz õÎ7/R$$sù óOÎgøs9Î) 4n?tã >ä!#uqy 4
¨bÎ) ©!$# w
=Ïtä tûüÏYͬ!$sø:$# ÇÎÑÈ
“(yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil Perjanjian
dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada Setiap kalinya, dan
mereka tidak takut (akibat-akibatnya). jika kamu menemui mereka dalam
peperangan, Maka cerai beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka dengan
(menumpas) mereka, supaya mereka mengambil pelajaran. dan jika kamu khawatir
akan (terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, Maka kembalikanlah
Perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berkhianat”. (Al-Anfaal: 56-58)
Dan sejalan dengan fiqh, Mawdudi
juga menyatakan dimensi lain dari jihad, yaitu yang berhubungan langsung
dengan upaya perbaikan diri dan pencapaian keadilan. Ia membagi jihad
jenis ini ke dalam dua cabang, yakni al’amr bi al-ma’ruf (menyeru kepada
kebaikan) dan al-nahyu ‘an al-munkar (mencegah keburukan).
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari pembahasan diatas tentang gerakan fundamentalisme dan
radikalisme Islam, penulis dapat mengambil beberapa kesimpulan, yaitu:
1. Akar
istilah fundamentalisme bukanlah dari Islam melainkan dari bangsa barat
khususnya gereja yang mengecam modernisme dan mengajak kepada pemahaman yang
literal dan rigid, sedangkan Istilah ini mulai dipakai dalam pergerakan
Islam khususnya di Timur Tengah oleh Leonard Binder.
2. Secara
umum definisi fundamentalisme adalah gerakan sosial dan keagamaan yang mengajak
umat Islam kembali kepada “prinsip-prinsip Islam yang fundamental yaitu Qur’an
dan sunnah secara literal dan rigid”. Dengan ciri khusus yaitu (a)
Ijtihad, (b) Preseden zaman awal serta sejarah dan tradisi Islam, (c) Ijma’,
(d) Anti Pluralisme, dan (e) hikmah.
3. Radikalisme
adalah aliran atau faham yang radikal terhadap tatanan politik; paham atau
aliran yang menuntut perubahan sosial dan politik dalam suatu negara secara
keras dan bisa terjadi di seluruh agama yang ada, tidak hanya Islam saja.
4. Asal
usul dari munculnya gerakan fundamentalisme Islam diikuti dengan gerakan
radikalisme Islam adalah ketidakpuasan atas tindakan kaum tradisionalis yang
gagal merespon sekularisme dan reaksi terhadap muncul aliran modernisme Islam
serta beberapa alasan lainnya yang berhubungan.
5. Pimpinan
Jama’at-i-islami, Abu l-A’la Mawdudi memaknai jihad dipahami sebagai
revolusi untuk membawa dunia ke arah yang sesuai dengan cita-cita Islam. Ia
menentang penggunaan jihad untuk memaksa kaum kafir yang memeluk Islam. Jihad
sebagai revolusi Islam harus dilakukan dengan damai melalui proses bertahap
yang pada akhirnya akan mengarah pada terwujudnya Dar al-Islam yang Universal.
B.
SARAN
Setelah membaca makalah ini, pemakalah merasa banyak sekali
kekurangan dalam penyampaian pembahasan tentang gerakan fundamentalisme dan
radikalisme Islam dan diharapkan bagi penulis selanjutnya untuk menyempurnakan
tulisan ini khususnya tentang gerakan radikalisme Islam dan koreksi
keobjektifan tulisan ini.
Dan bagi seluruh masyarakat dunia agar menelaah lebih lanjut
tentang gerakan-gerakan fundamentalisme dan radikalisme sehingga tidak setiap
bentuk perubahan yang menggunakan kekerasan dialamatkan kepada Islam, meskipun
mayoritas dari pelaku gerakan tersebut adalah para muslim.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim
Arfina, Eka Yani. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia
dilengkapi Dengan EYD dan Singkatan Umum. Surabaya: Tiga Dua.
Azra, Azyumardi. 1996. Pergolakan Politik Islam dari
Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme. Jakarta: Paramadina
Bahri, Syamsul. “Islam dan Wacana Radikalisme Agama
Kontemporer”. Dinika Vol. 3 No. 1, Januari 2004
Mahendra, Yusril Ihza.1999. Modernisme dan
Fundamentalisme dalam Politik Islam. Jakarta: Paramadina
Thohari, Fuad, M. Munir dkk. 2008. Kumpulan
Khutbah Jumat Islam dan Terorisme. Tangerang: Rahmat Semesta Center
0 komentar:
Posting Komentar