BAB I
PENDAHULUAN
Keinginan untuk memenuhi kebutuhan hidup merupakan naluri manusia.
Sejak kecil, bahkan ketika baru lahir, manusia sudah menyatakan keinginan untuk
memenuhi kebutuhannya dengan berbagai cara, misalnya dengan menangis untuk
menunjukkan bahwa seorang bayi lapar dan ingin minum susu dari ibunya. Semakin
besar dan akhirnya dewasa, keinginan dan kebutuhan seorang manusia akan terus
meningkat dan mencapai puncaknya pada usia tertentu untuk seterusnya menurun
hingga seseorang meninggal dunia.
Teori Perilaku konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana
manusia memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan
sumberdaya (resources) yang dimilikinya.
Teori perilaku konsumen yang dibangun berdasarkan syariah Islam,
memiliki perbedaan yang mendasar dengan teori konvensional. Perbedaan ini
menyagkut nilai dasar yang menjadi fondasi teori, motif dan tujuan konsumsi,
hingga teknik pilihan dan alokasi anggaran untuk berkonsumsi.
Ada
tiga nilai dasar yang menjadi fondasi bagi perilaku konsumsi masyarakat muslim
:
1.
Keyakinan akan
adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan seorang
konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia. Mengutamakan
konsumsi untuk ibadah daripada konsumsi duniawi. Konsumsi untuk ibadah
merupakan future consumption (karena terdapat balasan surga di akherat),
sedangkan konsumsi duniawi adalah present consumption.
2.
Konsep sukses
dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama Islam, dan bukan
dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas semakin tinggi
pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan,
kebenaran dan ketaqwaan kepada Allah merupakan kunci moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan
prilaku yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan diri dari
kejahatan.
3.
Kedudukan harta
merupakan anugrah Allah dan bukan sesuatu yang dengan sendirinya bersifat buruk
(sehingga harus dijauhi secara berlebihan).
Harta merupakan alat untuk mencapai tujuan hidup, jika diusahakan dan
dimanfaatkan dengan benar.(QS.2.265)
BAB II
ISI
A.
TAFSIR DEPAG
MENGENAI AYAT-AYAT SIKAP DAN PERILAKU KONSUMEN
1.
Al-Baqarah :
168
·
Tafsir /
Indonesia / DEPAG / Surah Al Baqarah : 168
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya
: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa
yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan;
karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Ibnu Abbas mengatakan bahwa ayat ini turun mengenai suatu kaum yang
terdiri dari Bani Saqif, Bani Amir bin Sa'sa'ah, Khuza'ah dan Bani Mudli.
Mereka mengharamkan menurut kemauan mereka sendiri, memakan beberapa jenis
binatang seperti bahirah yaitu unta betina yang telah beranak lima kali dan
anak kelima itu jantan, lalu dibelah telinganya; dan wasilah yaitu domba yang
beranak dua ekor, satu jantan dan satu betina lalu anak yang jantan tidak boleh
dimakan dan harus diserahkan kepada berhala. Padahal Allah tidak mengharamkan
memakan jenis binatang itu, bahkan telah menjelaskan apa-apa yang diharamkan
memakannya dalam firman-Nya:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ
الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا
أَكَلَ السَّبُعُ إِلَّا مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُبِ وَأَنْ
تَسْتَقْسِمُوا بِالْأَزْلَامِ ذَلِكُمْ فِسْقٌ
Artinya:
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas kecuali yang sempat kamu sembelih dan (diharamkan juga bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah; itu adalah suatu kefasikan. (Q.S Al Ma'idah: 3)
Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas kecuali yang sempat kamu sembelih dan (diharamkan juga bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah; itu adalah suatu kefasikan. (Q.S Al Ma'idah: 3)
Karena itu selain dari
yang tersebut dalam ayat ini boleh dimakan, sedangkan bahirah dan wasilah itu
tidak tersebut di dalam ayat itu. Memang ada beberapa ulama berpendapat bahwa
di samping yang tersebut dalam ayat itu, adalagi yang diharamkan memakannya
berdasarkan hadis Rasulullah saw. seperti memakan binatang yang bertaring tajam
atau bercakar kuat, tetapi sebagian ulama berpendapat bahwa memakan
binatang-binatang tersebut hanya makruh saja hukumnya.
Allah menyuruh manusia
memakan yang baik sedang makanan yang diharamkan oleh beberapa kabilah yang
ditetapkan menurut kemauan dan peraturan yang mereka buat sendiri halal
dimakan, karena Allah tidak mengharamkan makanan itu. Allah hanya mengharamkan
beberapa macam makanan tertentu sebagaimana tersebut dalam ayat 3 surat
Al-Maidah dan dalam ayat 173 surat al-baqarah.
Adapun selain dari yang
diharamkan Allah itu dan selain yang tersebut dalam hadis sesuai dengan
pendapat sebagian ulama adalah halal, boleh dimakan. Kabilah-kabilah itu hanya
mengharamkan beberapa jenis tanaman dan binatang berdasarkan hukum yang mereka
tetapkan dengan mengikuti tradisi yang mereka pusakai dari nenek moyang mereka
dan karena memperturutkan hawa nafsu dan kemauan setan belaka. Janganlah kaum
muslimin mengikuti langkah-langkah setan itu, karena setan itu adalah musuh
yang nyata bagi manusia.
·
Tafsir / Indonesia /
Jalalain / Surah Al Baqarah 168
يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا
تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Ayat berikut ini turun
tentang orang-orang yang mengharamkan sebagian jenis unta/sawaib yang
dihalalkan, (Hai sekalian manusia, makanlah yang halal dari apa-apa yang
terdapat di muka bumi) halal menjadi 'hal' (lagi baik) sifat yang memperkuat,
yang berarti enak atau lezat, (dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah) atau
jalan-jalan (setan) dan rayuannya (sesungguhnya ia menjadi musuh yang nyata
bagimu) artinya jelas dan terang permusuhannya itu.
2. Al-Maidah : 87
·
Tafsir /
Indonesia / DEPAG / Surah Al Maa-idah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا
أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ
الْمُعْتَدِينَ
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan
apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu
melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas.”
Pada
ayat ayat ini Allah swt. menunjukkan firman-Nya kepada kaum muslimin, yaitu
melarang mereka mengharamkan bagi diri mereka segala yang baik yang telah
dihalalkan-Nya seperti makanan, minuman, pakaian, pernikahan dan lain-lainnya
yang baik dan halal.
Ayat
ini diturunkan berkenaan dengan beberapa orang sahabat yang keliru dalam
memahami dan melaksanakan ajaran-ajaran agama Islam. Mereka mengira, bahwa
untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. harus melepaskan diri dari segala
macam kenikmatan duniawi, karena mereka berpendapat, bahwa kenikmatan itu hanya
akan melalaikan mereka beribadat kepada Allah. Padahal Allah swt. telah
menciptakan dan menyediakan di muka bumi ini barang-barang yang baik, yang
dihalalkan-Nya untuk mereka. Dan di samping itu, Dia telah menjelaskan pula
apa-apa yang diharamkan-Nya.
Akan
tetapi, walaupun Allah swt. telah menyediakan dan menghalalkan barang-barang
yang baik bagi hamba-Nya, namun haruslah dilakukan menurut cara yang telah
ditentukan-Nya. Maka firman Allah dalam ayat ini melarang hamba-Nya dari sikap
dan perbuatan yang melampaui batas. Perbuatan yang melampaui batas dalam soal
makanan, misalnya, dapat diartikan dengan dua macam pengertian. Pertama
seseorang tetap memakan makanan yang baik, yang halal, akan tetapi ia
berlebih-lebihan memakan makanan itu, atau terlalu banyak. Padahal makan yang
terlalu kenyang adalah merusak kesehatan, alat-alat pencernaan dan mungkin
merusak pikiran. Dana dan dayanya tertuju kepada makanan dan minuman, sehingga
kewajiban-kewajiban lainnya terbengkalai, terutama ibadahnya. Pengertian yang kedua
ialah bahwa seseorang telah melampaui batas dalam hal macam makanan yang
dimakannya, dan minuman yang diminumnya, tidak lagi terbatas pada makanan yang
baik dan halal, bahkan telah melampauinya kepada yang merusak dan berbahaya,
yang telah diharamkan oleh agama. Kedua hal itu tidak dibenarkan oleh ajaran
agama Islam.
Pada akhir ayat tersebut Allah swt. memperingatkan kepada hamba-Nya, bahwa Dia tidak suka kepada orang-orang yang melampaui batas. Ini berarti bahwa setiap pekerjaan yang kita lakukan haruslah selalu dalam batas-batas tertentu, baik yang ditetapkan oleh agama, seperti batas halal dan haramnya, maupun batas-batas yang dapat diketahui oleh akal, pikiran dan perasaan, misalnya batas mengenal banyak sedikitnya serta manfaat dan mudaratnya.
Suatu hal yang perlu kita ingat ialah prinsip yang terdapat dalam Syariat Islam, bahwa apa-apa yang dihalalkan oleh agama adalah karena ia bermanfaat dan tidak berbahaya; sebaliknya apa-apa yang diharamkannya adalah karena ia berbahaya dan tidak bermanfaat atau karena bahayanya lebih besar daripada manfaatnya.
Pada akhir ayat tersebut Allah swt. memperingatkan kepada hamba-Nya, bahwa Dia tidak suka kepada orang-orang yang melampaui batas. Ini berarti bahwa setiap pekerjaan yang kita lakukan haruslah selalu dalam batas-batas tertentu, baik yang ditetapkan oleh agama, seperti batas halal dan haramnya, maupun batas-batas yang dapat diketahui oleh akal, pikiran dan perasaan, misalnya batas mengenal banyak sedikitnya serta manfaat dan mudaratnya.
Suatu hal yang perlu kita ingat ialah prinsip yang terdapat dalam Syariat Islam, bahwa apa-apa yang dihalalkan oleh agama adalah karena ia bermanfaat dan tidak berbahaya; sebaliknya apa-apa yang diharamkannya adalah karena ia berbahaya dan tidak bermanfaat atau karena bahayanya lebih besar daripada manfaatnya.
Oleh
sebab itu tidaklah boleh mengubah-ubah sendiri hukum-hukum agama yang telah
ditetapkan Allah swt. dan Rasul-Nya. Allah swt. Maha Mengetahui apa-apa yang
baik dan bermanfaat bagi hamba-Nya dan apa yang berbahaya bagi mereka. Dan Dia
Maha Pengasih terhadap mereka.
3. Al-Israa : 29
·
Tafsir / Indonesia /
DEPAG / Surah Al Israa' 29
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ
مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ
مَلُومًا مَحْسُورًا
Artinya : “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada
lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi
tercela dan menyesal.”
Kemudian Allah SWT
menjelaskan cara-cara yang baik dalam membelanjakan harta, yaitu Allah SWT
melarang orang menjadikan tangannya terbelenggu pada leher. Ungkapan ini adalah
lazim dipergunakan oleh orang-orang Arab, yang berarti larangan berlaku bakhil.
Allah melarang orang-orang yang bakhil, sehingga enggan memberikan harta kepada
orang lain, walaupun sedikit. Sebaliknya Allah juga melarang orang yang terlalu
mengulurkan tangan, ungkapan serupa ini berarti melarang orang yang berlaku
boros membelanjakan harta, sehingga belanja yang dihamburkannya melebihi
kemampuan yang dimilikinya. Akibat orang yang semacam itu akan menjadi tercela,
dan dicemoohkan oleh handai-tolan serta kerabatnya dan menjadi orang yang
menyesal karena kebiasaannya itu akan mengakibatkan dia tidak mempunyai
apa-apa.
Dari ayat ini dapat
dipahami bahwa cara yang baik dalam membelanjakan harta ialah membelanjakannya
dengan cara yang layak dan wajar, tidak terlalu bakhil dan tidak terlalu boros.
Adapun
keterangan-keterangan yang didapat dari hadis-hadis Nabi dapat dikemukakan
sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Imam
Ahmad dan ahli hadis yang lain, dari Ibnu Abbas ia berkata: "Rasulullah
saw bersabda:
ما عال من اقتصد
Artinya:
"Tidak akan menjadi miskin orang yang berhemat".
"Tidak akan menjadi miskin orang yang berhemat".
Imam Baihaqi meriwayatkan
sebuah hadis dari Ibnu Abbas, Ibnu Abbas berkata: "Rasulullah saw
bersabda:
الإقتصاد في النفقة نصف المعيشة
Artinya:
Berlaku hemat dalam membelanjakan harta, separoh dari penghidupan.
Berlaku hemat dalam membelanjakan harta, separoh dari penghidupan.
·
Tafsir / Indonesia /
Jalalain / Surah Al Israa' 29
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ
الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا
artiya : “(Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu) artinya janganlah kamu menahannya dari berinfak secara keras-keras; artinya pelit sekali (dan janganlah kamu mengulurkannya) dalam membelanjakan hartamu (secara keterlaluan, karena itu kamu menjadi tercela) pengertian tercela ini dialamatkan kepada orang yang pelit (dan menyesal) hartamu habis ludes dan kamu tidak memiliki apa-apa lagi karenanya; pengertian ini ditujukan kepada orang yang terlalu berlebihan di dalam membelanjakan hartanya.
artiya : “(Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu) artinya janganlah kamu menahannya dari berinfak secara keras-keras; artinya pelit sekali (dan janganlah kamu mengulurkannya) dalam membelanjakan hartamu (secara keterlaluan, karena itu kamu menjadi tercela) pengertian tercela ini dialamatkan kepada orang yang pelit (dan menyesal) hartamu habis ludes dan kamu tidak memiliki apa-apa lagi karenanya; pengertian ini ditujukan kepada orang yang terlalu berlebihan di dalam membelanjakan hartanya.
B. TAFSIR
AL-MISBAH MENGENAI AYAT-AYAT SIKAP DAN PERILAKU KONSUMEN
1. Al-Baqarah : 168
يَا أَيُّهَا
النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
Artinya
: “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa
yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan;
karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.”
Tidak
semua yang ada didunia ini otomatis halal untuk dimakan atau digunakan. Allah
menciptakan ular berbisa bukan untuk dimakan, tetapi antara lain untuk
digunakan biasanya sebagai obat, ada burung burung yang diciptakan Nya untuk
memakan serangga yang merusak tanaman ,dengan demikian tidak semua yang
diciptakannya untuk dimakan manusia, walau semua yg diciptakannya untuk
kepentingan mausia, karena itu allah memerintahkan untuk memakan yang halal
saja.
Makanan
halal adalah makanan yang tidak haram, pada ayat ini menjelaskan bahwa perintah
kepada seluruh manusia untuk tidak memakan makanan yang haram. Namun demikian
tidak semua makanan yang halal otomatis baik. Karena yang dinamakan halal ada 4
macam wajib, sunah, mubah, dan makruh.
Ada
halal yang baik menurut si A yangis sesuai dengan kondisi tertentunya. Ada yang
kurang baik untuknya dan baik buat orang lain,. Ada makanan yang halal tetapi
tidak bergizi. Yang diperintahkan adalah yang halal lagi baik.
2.
Al-Maidah
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا
أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ
الْمُعْتَدِينَ
Artinya
: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan
apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu
melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui
batas.”
Ulama tidak melihat adanya hubungan ayat ini dengan ayat
sebelumnya. Tetapi al-Biqa’I yang menekuni bahasan hubungan antar ayat menulis
bahwa setelah dalam ayat yang lalu Allah memuji rahbah atau rasa takut
kepada Allah yang mendorong upaya
menjauhkan diri dari gemerlapan duniawi, karena memang hal ini baik, tetapi
lanjut Al-Biqa’I dalam prakteknya sering kali pelakunya terlalu ketat sampai-sampai
meninggalkan yang mubah (dibolehkan) padahal manusia adalah makhluk lemah,
sehingga sering kali kelemahan menghadapi keketatan itu mengantar kepada
kegagalan bersama. Itu sebabnya Islam datang , melarang pengetatan beragama
seperti itu, dengan menganjurkan moderasi – tidak melebihkan tidak juga
mengurangi. Dalam konteks itulah setelah menyinggung para ruhban yang
meninggalkan gemerlapan duniawi, bahkan mengharamkan atas diri meraka sekian
banyak hal yang mubah atau halal, ayat ini datang berpesan kepada orang-orang
beriman : hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan,
menghalangi diri kamu dengan jalan bernadzar, atau sumpah, atau apa saja untuk
melakukan apa-apa yang baik, indah, lezat, atau nyaman yang telah
Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu memaksakan diri melampaui
batas kewajaran, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai yakni
tidak melimpahkan rahmat dan ganjaran-Nya kepada orang-orang yang melampaui
batas, walaupun pelampauan batas itu berkaitan dengan upaya mendekatkan
diri kepada-Nya, sebagaimana halnya orang-orang Nasrani yang melakukan rahbaniyah
dengan mengharamkan apa yang halal.
Ath-Thabari dan al-Wahidi meriwayatkan bahwa ayat ini turun
berkenaan dengan kedatangan seseorang kepada Nabi SAW. Sambil berkata : “kalau
saya makan daging, lalu saya terus akan ‘mendatangi’ wanita-wanita, maka saya
mengharamkan atas diri saya daging”. Ayat ini turun meluruskan pandangannya
itu. Riwayat ini ditemukan juga dalam sunan at-Tirmidzi. Riwayat lain yang
sejalan dengan makna riwayat diatas menyatakan bahwa sejumlah sahabat Nabi SAW
berkumpul untuk membandingkan amal-amal mereka dengan amal-amal Nabi SAW., dan
akhirnya mereka berkesimpulan untuk melakukan amalan-amalan yang berat. Ada
yang ingin shalat semalam suntuk, ada yang tidak akan menggauli wanita, dan ada
juga yang akan berpuasa terus menerus. Mendengar rencana itu Nabi SAW menegur
mereka sambil bersabda : “sesungguhnya aku adalah yang paling bertakwa
diantara kalian, tapi aku shalat malam dan juga tidur, aku berpuasa tetapi juga
berbuka, dan aku kawin. Barang siapa yang enggan mengikuti sunnahku (cara
hidupku), maka bukanlah ia dari kelompok (umat)ku” (HR. Bukhari dan
Muslim melalui Anas Ibn Malik)
Firman-Nya la ta’tadu / jangan melampaui batas dengan
bentuk kata yang menggunakan huruf ta’ bermakna keterpaksaan,
yakni diluar batas yang lumrah. Ini menunjukkan bahwa fitrah manusia mengarah
kepada moderasi dalam arti menempatkan segala sesuatu pada tempatnya yang wajar
tidak berlebih dan tidak juga berkurang. Setiap pelampauan batas adalah semacam
pemaksaan terhadap fitrah dan pada dasarnya berat, atau risih melakukannya.
Inilah yang di isyaratkan oleh ta’tadu.
Larangan melampaui batas ini, dapat juga berarti bahwa menghalalkan
yang haram, atau sebaliknya, merupakan pelampauan batas kewenangan, karena
hanya Allah SWT yang berwenang menghalalkan dan mengharamkan. Pada masa
jahiliyah kaum musyrikin mengatasnamakan Allah mengharamkan sekian banyak hal
yang halal, sebagaimana akan terbaca dalam surah al-an’am. Itu agaknya yang
menjadi alasan sehingga ayat in dimulai dengan panggilan ya ayyuhaalladzinan
amanu karena penghalalan dan pengharaman seperti itu bertentangan dengan
keimanan. Selanjutnya, karena itu pula sehingga ayat berikut yang Masih
berkaitan erat dengan ayat ini memerintahkan untuk bertaqwa kepada Allah SWT
karena orang-orang mukmin selalu bertaqwa kepada-Nya, dengan mengikuti apa yang
diperintahkan-Nya, menjauhi larangan-Nya, menghalalkan apa yang halal dan
mengharamkan yang haram.
3.
Al-israa : 29
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ
مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ
مَلُومًا مَحْسُورًا
Artinya : “Dan
janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu
terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.”
Dan janganlah engkau enggan mengulurkan tanganmu untuk kebaikan
seakan akan engkau jadikan tanganmu terbelenggu dengan belenggu kuat yang
terikat ke lehermu sehingga engkau tak dapat menhulurkannya dan janganlah juga
engkau terlalu mengulurkannya sehingga berlebih lebihan karena itu menjadikanmu duduk tidak dapat berbuat apa
apa lagi tercela oleh dirimu sendiri atau orang lain karena boros, berlebih
lebihan dan menyesal tidak memiliki kemampuan karena telah kehabisan harta.
Kata mashuran
terambil dari kata hasara yang berarti tidak berbusana,
telanjang aatau todak tertutup. Seseorang yang tidak memakai tutup
kepala dinamai hasiru ar ras. seseorang yang keadaannya tertutup dari
segi rezeki adalah yang memiliki kecukupan sehingga ia tidak perlu berkunjung kepada orang lain
dan menampakkan diri untuk meminta, karena itu berarti ia membuka kekurangan aibnya.
Ada juga ulama
yang berpendapat bahwa kata tersebut terambil dari kata hasir yang
digunakan untuk binatang yang tidak mampu berjalan, sehingga mandek tinggal
ditempat. Demikian juga pemboros, pada akhirnya akan mandek dan tidak mampu
melakukan aktivitas, baik untuk dirinya sendiri apalgi orang lain sehingga
terpaksa hidup tercela.
Ayat ini
menjelaskan salah satu hikmah yang sangat luhur , yakni kebajikan yang
merupakan pertengahan antara dua ekstrim. Keberanian adalah pertengahan antara
kecerobohan dan sifat pengecut. Kedermawanan adalah pertengaahn antar
pemboroosan dengan kekikiran.
Sementara ulama menjadikan kata maluman/tercela merupakan
dampak dari kekikiran, sedang mahsuran/tidak memiliki kemampuan adalah
dampak dari pemborosan.
B.
AYAT AYAT LAIN
TENTANG SIKAP DAN PERILAKU PRODUSEN
Allah
SWT dalam firman-Nya dalam Al – Qur’an surat Al Israa' ayat 26 & 27
Artinya : Dan berikanlah kepada
keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang
dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara
boros.
Artinya : Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah
saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.
Dari
kedua ayat diatas dapat disimpulkan bahwa seorang konsumen muslim tidak perlu
mengeluarkan semua pendapatan bersihnya untuk semua barang dan jasa.
C.
BAB III
KESIMPULAN
Pada sikap dan perilaku konsumen yang harus kita lakukan
sesuai ajaran islam kitab kita Al qur’an adalah
· Memakan yang halal lagi baik untuk kesehaatannya
· Dapat membedakan mana yang halal dan yang haram
· Konsumen dengan tidak konsumsi berlebih lebihan
· larangan berlaku bakhil.
· Tidak berlaku boros membelanjakan harta
· Dilarang menghalangi diri dengan jalan bernadzar, atau sumpah.
· Tidak mengharamkan apa yang dihalalkannya
· Keberanian adalah pertengahan antara kecerobohan dan sifat
pengecut.
· Kedermawanan adalah pertengaahn antar pemboroosan dengan kekikiran.
· mengharuskan makanan yang baik dan cocok untuk dimakan, tidak kotor
atau pun menjijikan sehingga merusak selera. Makan dan minumlah dari semua yang
bersih dan bermanfaat. Baik bersih dari segi hukumnya yaitu yang halal, dari
segi makanannya harus higienis dan bergizi, maupun bersih dalam mendapatkannya.
·
Seorang konsumen muslim tidak hanya mencapai kepuasan
dari konsumsi barang dan jasa, tetapi juga kepuasan yang diperintahkan oleh
Allah SWT juga harus kita penuhi sebagai seorang muslim yang bertaqwa. Hal ini
berarti kepuasan seorang muslim tidak hanya sebagai fungsi jumlah barang yang
dikonsumsi tetapi juga sebagai fungsi dari sedekah.
· seorang muslim dilarang mengkonsumsi barang yang diharamkan oleh
islam seperti alkohol, daging babi, berjudi dan lain sebagainya.
· Seorang muslim dilarang menerima atau membayar bunga dari berbagai
pinjaman.
· Seorang konsumen muslim harus juga memperhitungkan konsumsinya
· Kepemilikan, perbedaan
· Riba macam maacam, definisi
· Harta dan zakat
· Sikap dan perilaku konsumen
0 komentar:
Posting Komentar