PEMBAHASAN
1.
Pengertian Akad
Akad
(al-‘Aqd) dalam bahasa Arab berarti: pengikatan antara ujung-ujung sesuatu.
Ikatan di sini tidak dibedakan apakah ia berbentuk fisik atau kiasan. Sedangkan
menurut pengertian istilah, akad berarti ikatan antara ijab dan qabul yang
diselenggarakan menurut ketentuan syariah di mana terjadi konsekuensi hukum
atas sesuatu yang karenanya akad diselenggarakan . Pengertian ini bersifat
lebih khusus karena terdapat pengertian akad secara istilah yang lebih luas
dari pengertian ini. Namun ketika berbicara mengenai akad, pada umumnya
pengertian inilah yang paling luas dipakai oleh fuqahâ’ (para pakar fikih).
Adapun
pengertian akad yang bersifat lebih umum mencakup segala diinginkan orang untuk
dilakukan baik itu yang muncul karena kehendak sendiri (irâdah munfaridah),
seperti: wakaf, perceraian dan sumpah atau yang memerlukan dua kehendak
(irâdatain) untuk mewujudkannya, seperti: buyû’ (jual-beli), sewa-menyewa,
wakâlah (perwakilan) dan rahn (gadai).
Dari
pengertian akad yang lebih umum ini muncul sedikit perbedaan dengan akad yang
dimengerti oleh fuqahâ’ dan hukum-hukum perdata konvensional. Perbedaannya
adalah bahwa dalam pengertian yang lebih luas mencakup kehendak tunggal dapat
melazimkan suatu transaksi, sementara menurut undang-undang hukum perdata
konvensional akad mesti melibatkan dua kehendak. Karena itu wilayah akad dalam
pengertian umum jauh lebih luas dibandingkan dengan akad dalam pengertian khusus.
2.
Rukun Akad
Dalam
pengertian fuqahâ’ rukun adalah: asas, sendi atau tiang. Yaitu Sesuatu yang
menentukan sah (apabila dilakukan) dan tidaknya (apabila ditinggalkan) suatu
pekerjaan tertentu dan sesuatu itu termasuk di dalam pekerjaan itu. Seperti ruku'
dan sujud merupakan sesuatu yang menentukan sah atau tidaknya shalat; keduanya
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perbuatan “shalat”. Dalam mu’amalah,
seperti: ijab dan qabul dan orang yang menyelenggarakan akad tersebut. Menurut
Jumhur ulama rukun akad ada tiga; yaitu âqid (orang yang menyelenggarakan akad
seperti penjual dan pembeli), harga dan barang yang ditransaksikan (ma'qûd
alaih) dan shighatul ‘aqd (bentuk [ucapan] akad) .
Ijab
adalah ungkapan atau ucapan atau sesuatu yang bermakna demikian yang datang
dari orang yang memiliki barang. Qabul adalah ungkapan atau ucapan atau sesuatu
yang bermakna demikian yang datang dari orang yang akan dipindahkan kepemilikan
barang tersebut kepadanya. Jika transaksi itu jual-beli, maka ucapan si penjual
kepada pembeli : "Saya jual buku ini kepada anda" adalah ijab
sekalipun hal itu diucapkan belakangan. Dalam transaksi jual-beli di sini,
qabul adalah ucapan si pembeli kepada si penjual: "Saya beli buku
ini" sekalipun ucapan itu dikeluarkan di depan. Jika ijab dan qabul ini
sudah diikat satu sama lain sementara keduanya diucapkan oleh orang yang sehat
akalnya maka akan terjadi perubahan status hukum ke atas barang yang
diselenggarakan akad atasnya (dalam hal ini adalah buku yang dijual).
Perubahan status hukum di sini adalah perpindahan kepemilikan; yaitu sebelum akad, buku tersebut milik si penjual dan setelah akad status kepemilikannya berpindah kepada si pembeli setelah membayar sejumlah uang sebagai harga dari buku itu.
Ijab dan qabul ini sangat penting karena menjadi indikator kerelaan mereka yang melakukan akad. Dalam fikih mu’amalah, ijab dan qabul ini adalah komponen dari shighatul ‘aqd yaitu ekspresi dari dua pihak yang menyelenggarakan akad atau âqidain (pemilik barang dan orang yang akan dipindahkan kepemilikan barang kepadanya) yang mencerminkan kerelaan hatinya untuk memindahkan kepemilikan dan menerima kepemilikan.
Perubahan status hukum di sini adalah perpindahan kepemilikan; yaitu sebelum akad, buku tersebut milik si penjual dan setelah akad status kepemilikannya berpindah kepada si pembeli setelah membayar sejumlah uang sebagai harga dari buku itu.
Ijab dan qabul ini sangat penting karena menjadi indikator kerelaan mereka yang melakukan akad. Dalam fikih mu’amalah, ijab dan qabul ini adalah komponen dari shighatul ‘aqd yaitu ekspresi dari dua pihak yang menyelenggarakan akad atau âqidain (pemilik barang dan orang yang akan dipindahkan kepemilikan barang kepadanya) yang mencerminkan kerelaan hatinya untuk memindahkan kepemilikan dan menerima kepemilikan.
Dari
penjelasan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa dalam setiap akad,
shighat akad harus selalu diekspresikan karena merupakan indikator kerelaan
dari âqidain. Pertanyaan yang kemudian muncul, “bagaimanakah kedudukan hukum
jual-beli saat ini yang tidak melibatkan shighat akad dari kedua belah pihak?
Pihak pembeli hanya membayar harga dan penjual memberikan barang tanpa
mengucapkan lafal atau ungkapan apa-apa. Pada umumnya para ulama memperbolehkan
jual-beli atau akad semacam ini dan mereka menyebutnya ‘aqd bit ta'athi karena
tradisi dan kebiasaan hidup manusia ('urf) menginginkan hal-hal yang praktis
dan tidak bertele-tele dalam bisnis. Di samping itu kebiasaan yang sudah
menjadi fenomena biasa ini juga menjadi standar dan ukuran bahwa praktik
demikian telah diterima oleh semua pihak dan tak seorangpun dari mereka yang
merasa keberatan. Bahkan sebagian fuqahâ’ (madzhab Hanafi) membolehkan tidak
saja dalam jual-beli yang remeh seperti telur, roti dan lain-lain tetapi juga
membolehkannya pada semua transaksi besar seperti rumah dan mobil. Sementara
itu madzhab Maliki tidak mensyaratkan 'urf sebagai patokan indikator kerelaan
pihak yang melakukan akad. Baginya akad adalah sah apabila terselenggara secara
suka rela. Tentu pendapat ini lebih luas dan lebih mudah dari pendapat Hanafi.
Sekalipun
pada umumnya para fuqahâ’ menyepakati akad bit ta'athi dalam semua lapangan
muamalah tetapi mereka menyepakati bahwa untuk kawin (zawâj) dikecualikan. Hal
ini disebabkan karena kawin merupakan hal yang agung dan sakral dan memiliki
konsekuensi abadi pada pihak wanita. Karena itu diperlukan kehatia-hatian dan
kesempurnaan dengan menjadikan ucapan sebagai bukti terkuat untuk
mengekspresikan kehendak.
3.
Orang yang
menyelenggarakan akad (âqidain)
Pihak
yang menyelenggarakan akad ini dapat sebagai pembeli atau penjual atau orang
yang memiliki hak dan yang akan diberi hak. Keduanya mempunyai syarat yang sama
yaitu, pertama, berakal atau mumayyiz. Berakal di sini adalah tidak gila
sehingga mampu memahami ucapan orang-orang normal. Mumayyiz artinya mampu
membedakan antara baik dan buruk; antara yang berbahaya dan tidak berbahaya;
dan antara merugikan dan menguntungkan. Kedua, orang yang menyelenggarakan akad
haruslah bebas dari tekanan sehingga mampu mengekspresikan pilihan bebasnya.
Dalam keadaan tertentu banyak dijumpai hambatan-hambatan psikis atau fisik yang membuat orang tidak dapat melakukan transaksi atau mengurangi kapabilitasnya untuk menjalankan transaksi. Dalam fikih muamalah hambatan-hambatan demikian disebut ‘awâridh ahliyyah. Ada dua jenis ‘awâridh ahliyyah yaitu samawiyyah dan muktasibah.
Samawiyyah adalah jenis hambatan yang tidak disebabkan oleh kehendak orang yang terkena hambatan tersebut, tetapi terjadi di luar kehendak manusia dan bukan merupakan pilihannya seperti gila, pingsan dan tidur. Muktasibah adalah hambatan yang terjadi karena ulah orang itu sendiri seperti mabuk dan utang. Dalam mu,amalah hambatan samawiyah memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan dengan hambatan muktasibah dan ini tentunya kembali kepada kenyataan bahwa dalam hal tersebut orang tidak memiliki pilihan karena itu transaksi yang dilakukan oleh orang yang terkena hambatan ini menjadi batal.
Dalam keadaan tertentu banyak dijumpai hambatan-hambatan psikis atau fisik yang membuat orang tidak dapat melakukan transaksi atau mengurangi kapabilitasnya untuk menjalankan transaksi. Dalam fikih muamalah hambatan-hambatan demikian disebut ‘awâridh ahliyyah. Ada dua jenis ‘awâridh ahliyyah yaitu samawiyyah dan muktasibah.
Samawiyyah adalah jenis hambatan yang tidak disebabkan oleh kehendak orang yang terkena hambatan tersebut, tetapi terjadi di luar kehendak manusia dan bukan merupakan pilihannya seperti gila, pingsan dan tidur. Muktasibah adalah hambatan yang terjadi karena ulah orang itu sendiri seperti mabuk dan utang. Dalam mu,amalah hambatan samawiyah memiliki dampak yang lebih besar dibandingkan dengan hambatan muktasibah dan ini tentunya kembali kepada kenyataan bahwa dalam hal tersebut orang tidak memiliki pilihan karena itu transaksi yang dilakukan oleh orang yang terkena hambatan ini menjadi batal.
4.
Jenis-jenis Akad
Ada
banyak jenis akad yang umum dikenal dalam fikih muamalah dengan memandang
kepada apakah akad itu diperbolehkan oleh syara' atau tidak; dengan memandang
apakah akad itu bernama atau tidak; dengan memandang kepada tujuan
diselenggarakannya akad dan lain-lain.
a.
Akad Sah dan Tidak
Sah
Dengan memandang apakah
akad itu memenuhi syarat dan rukunnya atau tidak, dapat dibagi menjadi dua
yaitu akad sah dan akad tidak sah. Akad sah adalah akad yang diselenggarakan
dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya. Hukumnya adalah akad ini berdampak
pada tercapainya realisasi yang dituju oleh akad tersebut yaitu perpindahan hak
milik.
Sedangkan akad yang tidak
sah adalah akad yang salah satu rukun atau syarat pokoknya tidak dipenuhi.
Hukumnya adalah bahwa akad tersebut tidak memiliki dampak apapun, tidak terjadi
pemindahan kepemilikan dan akad dianggap batal seperti jual-beli bangkai, darah
atau daging babi. Dengan kata lain dihukumi tidak terjadi transaksi.
Ada perbedaan pendapat
antara jumhur ulama dan madzhab Hanafi mengenai sah dan batalnya suatu akad.
Jumhur melihat bahwa batal dan rusak (fâsid) artinya sama. Kalau suatu akad itu
rusak, maka ia juga batal. Sedangkan madzhab Hanafi membedakan antara rusak
(fâsid) dengan batal sehingga mereka membagi akad berdasarkan sah atau tidaknya
menjadi tiga macam yaitu akad sah, fâsid dan batal.
Dalam pandangan madzhab Hanafi, akad yang tidak sah secara syar'i terbagi menjadi dua yaitu batal dan fâsid (rusak) di mana dalam pandangan jumhur hanya menjadi dua yaitu sah atau tidak sah dan tidak sah berarti batal dan berarti fâsid. Yang batal adalah akad yang rukunnya tidak dipenuhi atau akad yang pada prinsipnya atau sifatnya tidak dibenarkan secara syar'i. Misalnya salah satu pihak kehilangan kapabilitas seperti gila; atau shighat akad tidak memenuhi syarat, atau barang yang ditransaksikan tidak diakui oleh syara' seperti jual-beli miras, daging babi dan lain sebagainya. Hukum akad yang batal ini sama dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan madzhab-madzhab yang ada yaitu dianggap tidak terjadi.
Dalam pandangan madzhab Hanafi, akad yang tidak sah secara syar'i terbagi menjadi dua yaitu batal dan fâsid (rusak) di mana dalam pandangan jumhur hanya menjadi dua yaitu sah atau tidak sah dan tidak sah berarti batal dan berarti fâsid. Yang batal adalah akad yang rukunnya tidak dipenuhi atau akad yang pada prinsipnya atau sifatnya tidak dibenarkan secara syar'i. Misalnya salah satu pihak kehilangan kapabilitas seperti gila; atau shighat akad tidak memenuhi syarat, atau barang yang ditransaksikan tidak diakui oleh syara' seperti jual-beli miras, daging babi dan lain sebagainya. Hukum akad yang batal ini sama dan tidak ada perbedaan pendapat di kalangan madzhab-madzhab yang ada yaitu dianggap tidak terjadi.
Adapun akad fâsid, pada
prinsipnya dibenarkan secara syar'i tetapi sifatnya tidak dibenarkan. Misalnya
akad tersebut dilakukan oleh orang yang memiliki kapabilitas, barang yang
ditransaksikan dibenarkan oleh syara' namun ada sifat yang dilarang oleh syara'
seperti menjual suatu barang yang belum jelas kondisinya sehingga akan dapat
menimbulkan persengketaan ketika akad tersebut dilakukan. Akad fâsid memiliki
dampak syar'i dalam transaksi artinya terjadi perpindahan kepemilikan. Namun
akad ini dapat dibatalkan (fasakh) oleh salah satu pihak yang melakukan
transaksi atau dari hakim yang mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya.
b. Dengan Melihat Penamaan
Dari segi penamaan maka
akad dapat dibagi menjadi dua juga yaitu akad musamma dan ghairu musamma. Akad
musamma adalah akad yang sudah diberi nama tertentu oleh syara' seperti
jual-beli (buyû'), ijârah , syirkah , hibah, kafâlah , hawâlah , wakâlah , rahn
(gadai) dan lain-lain. Sedangkan akad ghairu musamma akad yang belum diberi
nama tertentu dalam syara' demikian pula hukum-hukum yang mengaturnya.
Akad-akad ini terjadi karena perkembangan kemajuan peradaban manusia yang
dinamik. Jumlahnya pun sangat banyak dan tidak terbatas seperti istishnâ' ,
baiul wafâ' dan bermacam-macam jenis syirkah (musyârakah) lain-lain.
c. Akad ‘Aini dan Ghairu ‘Aini
Dilihat dari diserahkannya
barang kepada pihak yang diberikan hak sebagai kesempurnaan sahnya suatu akad,
maka akad dapat digolongkan menjadi ‘aini dan ghairu ‘aini. Akad ‘Aini adalah
akad yang pelaksanaannya secara tuntas hanya mungkin terjadi bila barang yang
ditransaksikan benar-benar diserahkan kepada yang berhak untuk misalnya hibah ,
i’arah , wadiah , rahn dan qardh . Dalam akad-akad ini barang yang diakadkan
harus diserahkan kepada pihak yang berhak untuk menuntaskan bahwa akad
benar-benar terjadi. Kalau tidak diserahkan kepada yang berhak, maka akad tidak
terjadi atau batal.
Sedangkan ghairu aini adalah akad yang terlaksana secara sah dengan mengucapkan shighat akad secara sempurna tanpa harus menyerahkan barang kepada yang berhak. Umumnya akad-akad selain yang lima di atas dapat digolongkan ke dalam akad ghairu ‘aini.
Sedangkan ghairu aini adalah akad yang terlaksana secara sah dengan mengucapkan shighat akad secara sempurna tanpa harus menyerahkan barang kepada yang berhak. Umumnya akad-akad selain yang lima di atas dapat digolongkan ke dalam akad ghairu ‘aini.
5.
Tahapan Akad
a.
Al-’ahdu (perjanjian), yaitu pernyataan dari seseorang
untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut
pautnya dengan kemauan orang lain. Janji
ini mengikat orang yang menyatakannya untuk melaksanakan janjinya. (QS. Ali
Imran : 76)
b. Persetujuan, yaitu pernyataan setuju
dari pihak kedua untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu sebagai
reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama. Persetujuan tersebut
harus sesuai dengan janji pihak pertama.
c.
Apabila dua buah janji dilaksanakan maksudnya para pihak,
maka terjadilah apa yang dinamakan ‘Aqdu. (QS. Al-Maidah : 1)
6.
Unsur Akad
a. Pertalian Ijab dan Qabul
b. Dibenarkan Syara’
c.
Mempunyai akibat hukum
7.
Syarat dan Rukun Akad
a. Mazhab Hanafi
Rukun
: sighat al-’aqdu, yaitu ijab dan qabul
Syarat
: al-’Aqidain (subjek hukum) dan Mahalullul ‘Aqad (Objek Akad)
b. Jumhur Ulama: al-’Aqidaian, Mahalullul
‘Aqd, dan Sighat al-’Aqd.
KESIMPULAN
Akad (al-‘Aqd), yang dalam
pengertian bahasa Indonesia disebut kontrak, merupakan konsekuensi logis dari
hubungan sosial dalam kehidupan manusia. Hubungan ini merupakah fitrah yang
sudah ditakdirkan oleh Allah ketika Ia menciptakan makhluk yang bernama
manusia. Karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal
arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan
aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap
masa.
0 komentar:
Posting Komentar